Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Peneliti Ungkap Badai Sitokin Sebabkan Delirium, Kebingungan yang Dialami Pasien Covid-19

Gejala ini ditandai dengan kebingungan, sakit kepala, dan kehilangan ingatan jangka pendek. Dalam kasus yang parah, dapat menyebabkan psikosis dan bahkan kejang. Biasanya gejala delirium muncul beberapa minggu setelah seseorang pertama kali dinyatakan positif Covid-19.

Dalam edisi 8 Februari 2021, jurnal Cancer Cell, tim multidisiplin dari Memorial Sloan Kettering (MSK) melaporkan penyebab utama brain fog, yaitu karena adanya molekul inflamasi dalam cairan yang mengelilingi otak dan sumsum tulang belakang (disebut cairan serebrospinal).

Temuan menunjukkan, bahwa obat anti-inflamasi, seperti steroid, mungkin berguna untuk mengobati kondisi tersebut, tetapi diperlukan lebih banyak penelitian terkait hal ini.

"Kami dihubungi oleh kolega kami yang melakukan pengobatan perawatan kritis, yang telah mengamati delirium parah pada banyak pasien yang dirawat di rumah sakit karena Covid-19," kata Jessica Wilcox, Kepala neuro-onkologi di MSK dan salah satu penulis pertama dari studi baru ini.

"Pertemuan itu berubah menjadi kolaborasi yang luar biasa antara neurologi, perawatan kritis, mikrobiologi, dan neuroradiologi untuk mempelajari apa yang sedang terjadi dan untuk melihat bagaimana kami dapat membantu pasien kami dengan lebih baik."

Mengenali Gejala Brain Fog

Melansir Science Daily, menurut dr. Wilcox, istilah medis untuk brain fog ini adalah ensefalopati. Biasanya ini adalah efek samping pada pasien yang menerima jenis imunoterapi yang disebut terapi sel T reseptor antibodi chimeric (CAR), pengobatan untuk kanker darah.

Ketika terapi sel CAR T diberikan, hal itu menyebabkan sel kekebalan melepaskan molekul yang disebut sitokin, yang membantu tubuh untuk membunuh kanker.

Dan sitokin rupanya bisa meresap ke area sekitar otak dan menyebabkan peradangan.

Penanda inflamasi yang ditemukan pada pasien Covid-19 ini serupa, tetapi tidak identik dengan yang terlihat pada orang yang telah menerima terapi sel CAR T.

Dengan terapi sel Covid-19 dan CAR T, efek neurologis muncul beberapa hari atau minggu kemudian.

“Dan seperti halnya terapi sel CAR T, efek neurologis terkadang tertunda. Respons inflamasi awal dengan pengobatan sel CAR T sangat mirip dengan reaksi yang disebut badai sitokin yang sering dilaporkan pada orang dengan Covid-19,” jelas Dr. Wilcox.

Pada pasien sel CAR T, gejala neurologis diobati dengan steroid, tetapi dokter belum mengetahui peran pengobatan anti inflamasi untuk orang dengan gejala neurologis pada Covid-19.

Virus Corona Tidak Ditemukan di Otak

Tim peneliti mengaku, ketika mulai mempelajari brain frog atau kabut otak, mereka tidak menduga bahwa penyebabnya adalah badai sitokin. Awalnya mereka berpikir, bahwa virus corona itu sendiri yang berdampak pada otak.

Studi dalam makalah Cancer Cell ini berfokus pada 18 pasien yang dirawat di rumah sakit di MSK dengan Covid-19 dan mengalami masalah neurologis yang parah.

Semua pasien kemudian menjalani pemeriksaan neurologi lengkap, termasuk pemindaian otak seperti MRI, CT, dan pemantauan elektroensefalogram (EEG), untuk mencoba menemukan penyebab delirium mereka.

Ketika tidak ada penemuan yang bisa menjelaskan kondisi mereka dalam pemindaian tersebut, para peneliti meduga jawabannya mungkin terletak pada cairan serebrospinal.

Tim mikrobiologi MSK kemudian merancang tes untuk mendeteksi virus Covid-19 di dalam cairan serebrospinal.

Tiga belas dari 18 pasien diambil cairan tulang belakangnya untuk mencari adanya virus corona.

Dari situ peneliti menemukan, bahwa pasien terus memiliki tingkat badai sitokin yang tinggi, memberi sinyal molekul yang disekresikan dari sel kekebalan yang terlibat dalam peradangan, dalam cairan serebrospinal beberapa minggu setelah infeksi awal.

"Kami menemukan bahwa pasien ini mengalami peradangan yang terus-menerus dan tingkat sitokin yang tinggi dalam cairan serebrospinal mereka, yang menjelaskan gejala yang mereka alami," kata Dr Jan Remsik, salah satu penulis makalah tersebut, dalam sebuah pernyataan.

Virus corona sendiri, bagaimanapun, tidak ditemukan dalam cairan serebrospinal dan scan otak.

Beberapa teori tentang brain fog atau kabut otak penyebab delirium ini menunjukkan, bahwa gejala neurologis Covid-19 disebabkan oleh SARS-CoV-2 yang menyerang otak secara langsung.

Meski ada beberapa bukti, bahwa virus dapat menyusup ke otak pada beberapa pasien yang sakit parah, penelitian baru ini menunjukkan bahwa hal tersebut belum tentu menjadi penyebab brain fog atau kabut otak pada kebanyakan orang.

Namun, keberadaan sitokin dalam cairan serebrospinal memang menunjukkan bahwa sel-sel kekebalan mampu melewati sawar darah-otak dan memasuki sistem saraf pusat.

"Kami dulu berpikir bahwa sistem saraf adalah organ dengan kekebalan khusus, yang berarti bahwa ia tidak memiliki hubungan apa pun dengan sistem kekebalan. Tetapi semakin kita melihat, semakin kita menemukan hubungan antara keduanya," tambah Adrienne Boire, penulis studi, dan dokter-ilmuwan di MSK.

https://www.kompas.com/sains/read/2021/02/13/100500423/peneliti-ungkap-badai-sitokin-sebabkan-delirium-kebingungan-yang-dialami

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke