Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

7 Faktor Pemicu Cuaca Ekstrem Berisiko Bencana di Wilayah Indonesia

KOMPAS.com- Potensi cuaca ekstrem yang berdampak pada risiko kejadian bencana hidrometeorologi semakin meningkat di sejumlah wilayah Indonesia saat ini dipicu oleh beberapa kondisi iklim.

Hal ini disampaikan oleh Deputi Bidang Meteorologi Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), Guswanto MSi dalam konferensi pers secara daring, Sabtu (23/1/2021).

BMKG sejak Oktober 2020 lalu telah memprediksikan bahwa puncak musim hujan periode awal tahun 2021 kali ini akan berlangsung pada bulan Januari hingga Februari 2021.

Pada periode musim hujan dan puncak musim hujan tahun ini juga sering terjadi peristiwa cuaca ekstrem dengan curah hujan kategori lebat hingga sangat lebat.

Hujan ekstrem tersebut sangat berpotensi menimbulkan dampak bencana hidrometeorologi seperti banjir, banjir bandang, tanah longsor yang dapat membahayakan bagi publik, serta hujan lebat disertai kilat atau petir dan gelombang tinggi yang membahayakan pelayaran dan penerbangan.

Berikut beberapa faktor-faktor pemicu cuaca ekstrem yang bisa berdampak pada risiko bencana hidrometeorologi di Indonesia.

1. Monsoon Asia

Guswanto menjelaskan, dari faktor-faktor pengendali iklim di wilayah Indonesia, saat ini yang sedang aktif berpengaruh adalah Monsoon Asia.

Daerah konvergensi antar tropis (ITCZ) memperlihatkan anomali yang mengarah pada penguatan curah hujan tinggi di sebagian besar wilayah Indonesia.

Selama periode Januari-Februari ini, aktifitas Monsun Asia masih cukup aktif.

Kondisi tersebut masih dapat berpotensi diperkuat dengan adanya fenomena seruakan dingin dari Asia yang dapat berdampak pada penguatan potensi pertumbuhan awan hujan terutama di wilayah Indonesia bagian barat.

2. Lingkungan

Peningkatan trend curah hujan ekstrem ini, selain dipicu oleh fenomena dan atau gangguan skala iklim, dikaitkan juga sebagai dampak perubahan iklim.

Guswanto menjelaskan, hal ini sesuai dengan hasil kajian Siswanto dkk, 2015 untuk wilayah Jakarta menunjukkan bahwa frekuensi kejadian hujan tinggi yang semakin meningkat.

"Dari pengamatan BMKG walaupun curah hujan berada pada tingkat sedang, namun masih berpotensi menimbulkan bencana hidrometeorologi. Hal ini tergantung pada daya dukung lingkungan dalam merespon kondisi curah hujan," kata Guswanto. 

Kondisi bencana tersebut seperti terjadinya banjir bandang, dikarenakan adanya tumpukan endapan longsor yang masuk ke lembah sungai dan juga adanya sisa-sisa penebangan pohon dibagian hulu. 

Di mana seharusnya pohon-pohon tersebut dapat menahan atau membendung air, sehingga tidak terjadi bencana banjir bandang di pemukiman warga.

Jika hujan terus berlangsung, kemudian akan menjebol bendung tumpukan endapan longsor dan ranting kayu tersebut, sehingga endapan dan ranting kayu hanyut dengan kecepatan tinggi, mengakibatkan banjir bandang di bagian hilirnya. 

Demikian pula banjir dan genangan, selain akibat curah hujan tinggi juga dapat diakibatkan kondisi permukaan yang tidak mendukung air mengalir dengan cepat atau normal ke saluran-saluran yang semestinya.

3. Fenomena La Nina

Berdasarkan hasil analisis BMKG, pada Dasarian II atau 10 hari ke-2 Januari 2021, Indeks ENSO masih menunjukkan kategori La Nina Moderat.

Di mana beberapa institusi meteorologi internasional juga memprediksikan La Nina dapat bertahan hingga Juni 2021.

Sedangkan, Indeks Dipole Mode berada pada kategori Netral dan umumnya diprediksi tetap pada kategori Netral sampai dengan Mei 2021.

4. Dinamika atmosfer labil

Guswanto berkata, kondisi dinamika atmosfer yang tidak stabil (labil) dalam beberapa hari ke depan dapat berpotensi meningkatkan pertumbuhan awan hujan di beberapa wilayah Indonesia.

"Untuk sepekan kedepan, sinyal fenomena gelombang atmosfer seperti MJO, Gelombang Rossby Ekuatorial, Gelombang Kelvin teridentifikasi masih cukup berkontribusi signifikan terhadap peningkatan potensi hujan di wilayah Indonesia," ujarnya.

Wilayah terdampak paling utama adalah wilayah Indonesia sebelah selatan ekuator seperti wilayah Sumatera Selatan, Jawa-Bali-Nusa Tenggara, Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara.

5. Sirkulasi siklonik

Sirkulasi siklonik terpantau di Teluk Carpentaria bagian barat yang membentuk daerah pertemuan angin (konfluensi) yang memanjang dari Sulawesi bagian Tengah, Laut Flores bagian timur, Laut Banda bagian selatan hingga Laut Arafura bagian selatan. 

Kondisi tersebut mampu meningkatkan potensi pertumbuhan awan hujan di sekitar sirkulasi siklonik dan di sepanjang daerah konfluensi tersebut.

6. Konvergensi angin

Daerah pertemuan dan perlambatan kecepatan angin (konvergensi) lainnya terpantau memanjang dari Selat Malaka bagian utara hingga perairan timur Nias, di Banten bagian timur hingga Jawa Tengah, di Laut Cina Selatan sebelah utara Kalimantan hingga pesisir timur Kalimantan Timur dan di Papua bagian tengah hingga Papua Barat bagian barat.

Adanya konvergensi angin ini juga mampu meningkatkan potensi pertumbuhan awan hujan di sepanjang daerah konvergensi tersebut. 

7. Labilitas lokal kuat

Labilitas lokal kuat yang mendukung proses konvektif pada skala lokal terdapat di sejumlah wilayah Indonesia.

Di antaranya seperti Aceh, Sumatera Utara, Riau, Sumatera Barat, Jambi, Bengkulu, Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Kalimantan Utara, Kalimantan Selatan, sebagian besar Sulawesi, Maluku Utara, Papua Barat dan Papua.

https://www.kompas.com/sains/read/2021/01/25/162600823/7-faktor-pemicu-cuaca-ekstrem-berisiko-bencana-di-wilayah-indonesia

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke