Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Mengapa Plasma Darah untuk Terapi Covid-19 Perlu Uji Klinis? Ini Penjelasan Ahli

KOMPAS.com- Saat ini plasma darah atau plasma konvalesen untuk pasien Covid-19 sedang dalam pengujian klinik di Indonesia.

Sebelum uji klinis terselesaikan dengan baik secara keseluruhan, maka pemberian atau transfusi plasma darah kepada pasien yang sedang terinfeksi Covid-19 belum bisa diberikan.

Disampaikan oleh Wakil Kepala Bidang Penelitian Translasional di Lembaga Biologi Molekuler (LBM) Eijkman, Prof dr David H Muljono SpPD FINASIM FAASLD PhD, pemberian sebelum terselesaikan uji klinik, terapi terapi plasma konvalesen dapat berisiko gagal.

"Kalau tidak di uji klinik atau tidak selesai di uji netralisasinya itu bisa berbahaya, karena kita tidak tahu apakah isi plasma itu apa," kata David kepada Kompas.com melalui virtual daring, Selasa (25/8/2020).

Seperti diketahui, plasma konvalesen adalah plasma darah yang diambil dari pasien Covid-19 yang telah sembuh, dan kemudian diproses agar dapat diberikan kepada pasien yang sedang terinfeksi virus corona, SARS-Cov-2 penyebab Covid-19.

Pemberian plasma darah pasien sembuh dari Covid-19 ini diharapkan dapat membantu pasien yang sedang terinfeksi untuk lebih kuat lagi melawan serangan virus tersebut.

Mengapa plasma konvalesen perlu uji klinis?

Plasma darah atau plasma konvalesen terbaik yang diberikan dalam terapi ini, haruslah mengandung antibodi spesifik terhadap virus SARS-CoV-2 dan juga memiliki titer (kadar) yang tidak rendah atau harus lebih dari 1/80.

"Kita itu belum tahu ya, makanya perlu dites atau diuji itu supaya kita tahu apakah plasma darahnya itu memang mengandung antibodi yang spesifik apa nggak, titernya cukup apa nggak," kata David.

Sebab, para peneliti belum mengetahui kedua inti dasar tersebut hanya dengan melihat sampel plasma darah yang diambil dari penyintas Covid-19 saja.

Selain itu juga, David berkata, pemberian plasma darah atau plasma konvalesen ini meski terbilang lebih sederhana daripada pembuatan vaksin tetapi tetap memiliki risiko berbahaya.

"Itu kalau kita beri (plasma darah penyintas) tapi antibodinya tidak spesifik atau spesifik (antibodi untuk SARS-CoV-2) tapi titernya (kadar) rendah itu bisa jadi risiko untuk pasien penerima, bisa ada reaksi tubuh yang parah," kata dia.

Contoh antibodi tidak spesifik yang dimaksudkan David adalah dalam sampel plasma darah itu hanya ada antibodi virus corona saja. Bisa saja tidak mengandung virus corona SARS-CoV-2, melainkan jenis lain.

Apabila antibodi non-spesifik ini masuk ke dalam tubuh pasien penerima, justru tidak akan terbentuk sistem pertahanan kekebalan tubuh yang lebih baik dari sebelumnya. Bahkan, bisa terjadi keluhan yang baru lagi.

Jangan terburu-buru terapkan terapi plasma konvalesen

Oleh sebab itu, David berkata, perizinan untuk penerapan terapi plasma darah ini tidak perlu terburu-buru mengejar negara lain yang sudah mengeluarkan izin penerapan plasma darah untuk pasien Covid-19.

Hal itu dikarenakan, negara seperti Amerika Serikat memang telah memiliki teknologi yang cukup memadai untuk melakukan uji netralisasi plasma darah, sesuai dengan standar yang berlaku.

Teknologi yang dipergunakan untuk menguji netralisasi plasma darah ini disebut dengan Plaque Reduction Neutralization Test (PRNT).

PRNT ini dipergunakan untuk memastikan secara akurat bahwa sampel plasma yang diambil dari donor mengandung antibodi spesifik dan titernya tidak rendah.

"Ini (PRNT) sedang dikembangkan di Lembaga Eijkman. Kita berharap dua bulan lagi (November) selesai," harapnya.

Adapun inti utama uji klinis plasma konvalesen yang dikembangkan saat ini adalah untuk memastikan dua hal berikut.

1. Mendapatkan cara terbaik pemberian plasma

Seperti disebutkan sebelumnya, jika sampel plasma darah sudah dipastikan melalui PRNT dan siap diberikan kepada pasien. Maka, risiko efek samping bisa diminimalisir.

Sehingga, fokus peneliti dan dokter beserta tenaga medis hanyalah memantau perkembangan reaksi pasien penerima donor plasma konvalesen itu selama maksimal dua kali uji coba dalam kurun waktu tiga hari.

"Itu biar kita tahu dosisnya bagaimana, berapa. Sama seperti kita minum obat, kan, ada dosisnya, kalau nggak diuji kita nggak tahu. Kalau kekurangan ya nggak efektif, kalau kelebihan ya bahaya, makanya perlu diuji dulu," jelas David.

2. Mempelajari semua pasien dan donor dengan PRNT

Tidak semua pasien yang terinfeksi virus corona dan penyintasnya memiliki gejala, keluhan ataupun faktor-faktor risiko penyakit penyerta yang sama.

Oleh sebab itu, uji klinis plasma konvalesen perlu dilakukan agar mengetahui dan mempelajari setiap kemungkinan yang berlaku pada setiap indikator yang berkaitan dengan plasma konvalesen dan penyembuhan infeksi penyakit akibat virus tersebut.

Akan tetapi, yang dapat dipastikan oleh David, pemilihan penyintas donor plasma darah untuk terapi pasien Covid-19 juga harus diperketat dengan mengutamakan penyintas tanpa penyakit penyerta, dan bukan wanita hamil.

https://www.kompas.com/sains/read/2020/08/27/090200623/mengapa-plasma-darah-untuk-terapi-covid-19-perlu-uji-klinis-ini-penjelasan

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke