Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menakar Nasib Ritel dan Pusat Perbelanjaan Pasca-Pandemi

Kompas.com - 27/05/2021, 15:22 WIB
Hilda B Alexander

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Pandemi Covid-19 memaksa para pelaku usaha ritel dan pusat perbelanjaan melakukan beragam inovasi untuk tetap dapat beradaptasi dengan kebiasaan baru.

Inovasi harus dilakukan jika ingin tetap dapat bertahan, alih-alih meningkatkan kinerja tingkat hunian, dan penjualan mereka.

Sejumlah peritel di pusat-pusat perbelanjaan terlihat telah mengubah konsep mereka. Namun, tak sedikit pula yang secara ekstrim mengalihkan orientasi bisnisnya ke konsep alternatif yang lebih mampu menjawab perubahan pasar.

Baca juga: Membaca Peta Persaingan Cloud Kitchen di Jakarta, Ini 7 Pemainnya

Head of Retail Services Colliers Indonesia Sander Halsema mencatat beberapa konsep alternatif mulai muncul kembali dan berkembang, menarik para peritel.

Sebut saja konsep pop-up store atau cloud kitchen yang melibatkan modal lebih sedikit.

Kedua konsep alternatif ini menawarkan kesempatan kepada peritel untuk mempertahankan keberadaan sekaligus memperluas jangkauan bisnis dengan biaya yang jauh lebih rendah.

Selain kedua konsep ini, terdapat pula tawaran konsep semi-outdoor yang mulai diadopsi para pengembang pusat perbelanjaan.

ASHTA, District 8, CBD Sudirman, Jakarta.Hilda B Alexander/Kompas.com ASHTA, District 8, CBD Sudirman, Jakarta.
Dengan adanya peraturan pembatasan sosial akibat kondisi saat ini, banyak pengunjung yang akhirnya mulai mencari pusat perbelanjaan, toko atau bahkan restoran yang memiliki ruang terbuka.

Dengan memaksimalkan penggunaan area luar ruang, pengelola pusat perbelanjaan mampu memberikan pengalaman berbelanja yang lebih baik kepada pengunjungnya.

Termasuk menambah dan menata ruangan yang telah disesuaikan dan menggunakan teknologi canggih.

Baca juga: Akibat Corona, Sewa Pusat Belanja di Jakarta Bakal Lebih Murah

Sejatinya, konsep semi outdoor sudah ada sejak lama dan bukan hal baru. Namun, tidak semua pusat perbelanjaan bisa menciptakan area luar ruang.

"Pusat perbelanjaan yang tidak memiliki ruang untuk mengembangkan konsep ini perlu memaksimalkan ruangnya dengan benar," ujar Sander dalam laporan yang diterima Kompas.com, Kamis (27/05/2021).

Contohnya, dengan pemasaran yang menarik dan strategis. Selain itu, pengelola pusat perbelanjaan perlu melihat dengan cermat peluang untuk membuat ruang ritel mereka mengundang para pengunjung.

Salah satu elemen penting yang perlu diperhatikan oleh pengelola pusat perbelanjaan adalah menjaga ketatnya protokol kesehatan.

"Karena hal ini sangat penting untuk menjaga kepercayaan dan kenyamanan pengunjung dan memastikan bahwa bangunan mereka terlindungi sebaik mungkin," imbuh Sander.

Pop-up Store

Ilustrasi dapur bersama atau cloud kitchen. SHUTTERSTOCK/PAVEL L PHOTO AND VIDEO Ilustrasi dapur bersama atau cloud kitchen.
Menarik untuk ditelusuri lebih lanjut, mengapa konsep pop-up store saat ini makin digandrungi.

Menurut Sander, membuka toko pop-up atau pop-up stores lebih menarik karena risiko finansialnya lebih rendah.

Biaya untuk membuka pop-up stores hanya separuh dari membuka toko fisik di mal-mal dengan masa sewa yang panjang.

Hal ini dimungkinkan karena luas area toko dengan konsep seperti ini lebih kecil, biaya fit out pun lebih rendah.

Baca juga: Meski Masih Pandemi, Jabodetabek Tambah Enam Mal Baru

Selain itu, periode sewa lebih pendek dengan kebutuhan staf atau karyawan yang lebih sedikit.  

Biasanya harga sewa yang diterapkan adalah harga tetap per bulan dengan tambahan biaya pemeliharaan atau bagi hasil ditambah biaya pemeliharaan.

Karena itulah, wajar jika kemudian hitungan biaya operasionalnya pun jauh lebih murah. Sementara jangkauannya bisa meluas, dengan kesempatan ekspansi lebih besar.

"Fleksibilitas adalah kunci dari pop up stores. Jika kinerja gerai yang satu kurang optimal, peritel bisa menutupnya dan membuka gerai di lokasi lain," sambung Sander.

Sander melanjutkan, pop-up stores juga merupakan strategi pemasaran yang baik untuk membuat konsumen tetap sadar akan keberadaan brand dan produk yang ditawarkan.

Oleh karena itu, lokasi dan strategi pemasaran adalah dua elemen utama untuk memaksimalkan kinerja pop-up stores.

Mal.www.shutterstock.com Mal.
Mereka dapat membuka peluang untuk meningkatkan basis pelanggan dan membantu pengecer menjelajahi pasar baru yang mungkin belum mereka pertimbangkan sebelumnya.

Sementara cloud kitchens diprediksi akan melonjak 42 persen selama periode 2019-2021.

Ini menunjukkan bagaimana pasar pengiriman makanan telah tumbuh secara eksponensial dalam dua tahun terakhir.

Konsep ini menggantikan restoran dengan layanan lengkap dan menawarkan alternatif yang lebih murah bagi peritel F and B untuk berkembang lebih cepat dengan biaya lebih rendah.

Baca juga: Jual Mal, Sentul City Kantongi Rp 1,9 Triliun dari Investor Jepang

Menurut Sander, jumlah cloud kitchens di Indonesia meningkat pesat dan menjadi saluran penting bagi peritel F and B untuk berkembang.

Dapur awan dianggap sebagai konsep yang lebih baru dibandingkan dengan beberapa ide berkembang lainnya.

Dapur awan dimaksudkan hanya untuk makanan yang akan diambil dan dikirim ke rumah, dan pelanggan perlu memesan makanan secara daring.

Ada beberapa hal yang membuat konsep dapur awan ini berkembang pesat.

Pertama adalah lokasi. Wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi masih menjadi fokus pengembangan cloud kitchen atau yang bisa juga disebut ghost kitchen.

Ilustrasi pusat perbelanjaanPIXABAY/hpgruesen Ilustrasi pusat perbelanjaan
Dengan kondisi pembatasan dengan keharusan kerja dari rumah yang diperkirakan akan berlangsung cukup lama, tempat atau bangunan yang berdekatan dengan kawasan hunian dianggap cocok sebagai lokasi cloud kitchen.

Kedua perjanjian sewa/komersial. Jangka waktu sewa yang diterapkan oleh operator dapur awan biasanya bervariasi dan dilakukan secara bulanan atau tahunan, namun dengan sistem pembayaran bulanan.

Untuk harga sewa, dua jenis bangunan komersial umumnya ditawarkan kepada peritel dengan harga tetap per bulan ditambah harga per meter persegi untuk biaya layanan; atau bagi hasil ditambah biaya layanan.

Berdasarkan penggunaannya, peritel juga diharuskan membayar biaya fasilitas kepada operator dapur awan dan membayar biaya deposit pada awal perjanjian.

Ketiga, bagi hasil. Sesuai kesepakatan, biasanya bagi hasil antara peritel dan operator dibayarkan setiap bulan dengan nilai yang telah ditentukan.

Secara umum penerimaan bagi hasil bisa mencapai 10 persen hingga 25 persen tanpa pajak.

Jika peritel tidak dapat mencapai angka penjualan yang tercatat dalam rentang pendapatan bulanan, maka ada biaya minimum yang harus mereka bayarkan kepada operator.

Umumnya pembayaran minimum sudah termasuk service charge.

Sander memastikan, konsep ritel seperti ruang semi-outdoor, toko pop-up, dan dapur cloud merupakan peluang berkelanjutan yang dapat berdampak baik pada kemajuan sektor ritel.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com