Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Kota-Kota di Asia Pasifik Belum Serius Tangani Masalah Emisi Karbon

Sektor real estat, yang merupakan salah satu sektor esensial, bahkan menyumbang rata-rata 60 persen dari keseluruhan emisi karbon.

Meskipun memberikan dampak buruk, namun kota-kota di Asia Pasifik belum serius menangani masalah ini.

Menurut laporan terbaru dari perusahaan manajemen properti JLL, tingkat emisi karbon bahkan lebih tinggi di beberapa pusat bisnis terbesar di Asia Pasifik seperti Tokyo (73 persen), Seoul (69 persen) dan Melbourne (66 persen).

Dalam laporannya bertajuk “Decarbonising Cities and Real Estate” JLL menemukan adanya kesenjangan yang signifikan antara kebijakan yang berlaku di perkotaan, dampak industri real estat, dan sains.

Pemerintah di kota-kota utama di Asia Pasifik dinilai menetapkan target keberlanjutan yang ambisius, bahkan seringkali jauh di atas target nasional.

Sydney dan Shanghai misalnya menargetkan pengurangan emisi karbon sebesar masing-masing 70 persen dan 65 persen pada tahun 2030.

Namun, upaya mengatasi emisi karbon sering kali tidak mendapatkan perhatian yang cukup.
Beberapa kota seperti Hong Kong, Shanghai dan Mumbai bahkan tidak memiliki target nyata untuk mengembangkan gedung atau bangunan bebas karbon.

Untuk mewujudkan rencana dekarbonisasi bangunan yang holistik dan efektif, JLL menekankan pentingnya kerjasama dengan pemilik lahan, investor, pengembang, dan penghuni.

Head of ESG Research JLL Asia Pasifik, Kamya Miglani mengatakan bangunan merupakan masalah sekaligus solusi bagi krisis iklim yang dihadapi.

Karena itu, kerjasama antara sektor swasta dan publik merupakan hal yang sangat penting untuk mendorong kemajuan nyata dalam dekarbonisasi ekonomi.

“Untuk Asia Pasifik, hal ini sangat penting terutama bagi kota-kota seperti Hong Kong yang 85 persen bangunannya berusia lebih dari 10 tahun dan memerlukan peremajaan. Sayangnya, belum ada target yang ditetapkan untuk dekarbonisasi bangunan," kata Kamya dalam rilis yang diterima Kompas.com.

Menurutnya, jika hal tersebut tidak dilakukan, pemerintah kota diharapkan dapat mengeluarkan peraturan ketat dan penalti yang berat terkait standar bangunan.

Penelitian JLL juga menunjukkan bahwa kota-kota yang paling mungkin berhasil dalam mengurangi emisi karbon adalah kota-kota yang mampu menyeimbangkan regulasi, insentif, inovasi, dan akselerator.

Sejumlah kota besat telah menerapkan pendekatan inovatif untuk mengurangi emisi bangunan.

Singapura misalnya, mereka menerapkan Rencana Induk Bangunan Hijau (Green Building Masterplan) yang menargetkan dekarbonisasi bangunan sebesar 80 persen hingga 2030.

Sementara itu, Tokyo menerapkan program cap-and-trade yang memberi insentif kepada pemilik bangunan untuk mengurangi emisi karbon dan menggunakan energi terbarukan.

Namun, kebijakan dan regulasi yang saat ini diterapkan di seluruh dunia belum sepenuhnya mengikuti perkembangan ilmu sains.

Di sarankan, pemerintah di kota-kota Asia Pasifik perlu berpikir lebih dari sekedar dekarbonisasi lingkungan.

“Penerapan ekonomi sirkular untuk menghilangkan limbah dan berinvestasi pada penghijauan kota serta keanekaragaman hayati perlu dilakukan untuk mengembangkan kota yang berkelanjutan, sehat dan layak huni,” tambah Kamya.

https://www.kompas.com/properti/read/2022/06/20/203500321/kota-kota-di-asia-pasifik-belum-serius-tangani-masalah-emisi-karbon

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke