Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Abdul Halim Versus Kementerian ATR/BPN, Lahan 7,7 Hektar Punya Siapa?

Bahkan, terjadi adu klaim kepemilikan lahan antara Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertahanan Nasional (ATR/BPN) dengan pihak Abdul Halim yang diwakili kuasa hukumnya, Hendra.

Menteri ATR/BPN Sofyan Djalil mengklaim tanah dengan Sertifikat Hak Milik (SHM) Nomor 4931/Cakung Barat tersebut merupakan milik PT Salve Veritae.

Sofyan memperkuat klaimnya dengan menerbitkan Surat Keputusan (SK) Menteri ATR/Kepala BPN untuk membatalkan SK Kepala Kantor Wilayah (Kanwil) BPN DKI Jakarta Nomor 13/Pbt/BPN.31/IX/2019 tanggal 30 September 2019 tentang Pembatalan Sertifikat Hak Milik (SHM) yang menjadi dasar penerbitan kepemilikan tanah seluas 7,7 hektar atas nama Abdul Halim.

Tak terima dengan pembatalan sepihak, kepada Kompas.com Kuasa Hukum Abdul Halim, Hendra, memberikan keterangan terkait kronologi terjadinya sengketa tanah.

Dia juga menyayangkan tindakan Sofyan Djalil yang secara tiba-tiba mengeluarkan SK pembatalan di tengah proses hukum yang masih berlangsung di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).

Berikut kronologi versi Kementerian ATR/BPN

Menteri ATR/BPN Sofyan Djalil kembali bersuara dan menceritakan kronologi terjadinya kasus sengketa tanah seluas 7,7 hektar di Cakung Jakarta Timur, saat bertandang ke kantor redaksi Harian Kompas, Rabu (09/06/2021).

Menurut Sofyan, sengketa berawal pada tahun 1974 atau 1975, ketika tanah seluas 7,7 hektar yang merupakan milik adat dikonversi menjadi 20 SHM atas nama Keluarga Tabalujan.

Kemudian pada tahun 1996, dilakukanlah verifikasi yang semula bernama Gapura Muka menjadi Wilayah Cakung Barat DKI Jakarta berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 45 Tahun 1975 dan secara fisik tanah tersebut dikuasai oleh Keluarga Tabalujan.

Lalu pada tahun 2008, SHM tanah seluas 7,7 hektar yang saat ini disengketakan itu kemudian beralih kepada Benny Simon Tabalujan dan pada 2011 SHM itu diturunkan menjadi 20 Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) dan dipecah menjadi 38 SHGB.

"Setelah itu, kepemilikan SHGB diimbrengkan kepada PT Salve Veritae yang merupakan perusahaan keluarga Tabalujan itu," kata Sofyan.

Sofyan menuturkan pada tahun 2017, Abdul Halim kemudian mengajukan permohonan Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL), namun sayangnya ditolak oleh Kantor Pertanahan (Kantah) Jakarta Timur.

Alasan penolakan karena di atas tanah tersebut telah terbit hak kepemilikan tanah atas nama PT Salve Veritae.

Dan atas laporan itu, keduanya ditetapkan sebagai tersangka.

Tak sebatas itu, pada tahun yang sama Abdul Halim juga menggugat BPN atas penolakan dari Kantah Jakarta Timur ke PTUN dengan perkara Nomor 238/G/2018/PTUN.JKT juncto Nomor 190 B/2019/PT.TUN.JKT juncto Nomor 61 K/TUN/2020 dengan amar Menolak Kasasi dari Abdul Halim.

Kepemilikan Lahan PT Salve Veritae Dibatalkan

Namun, Sofyan menegaskan pada saat proses kasasi masih berjalan, Kanwil BPN DKI Jakarta justru membatalkan ke-20 SHM berikut turunan 38 SHGB atas nama PT Salve Veritate melalui SK Nomor 13/Pbt/BPN.31/IX/2019 tanggal 30 September 2019 yang didasarkan atas surat keterangan Lurah Cakung Barat Nomor 183/-1.711.12, tanggal 28 Maret 2019 dan Surat Lurah Cakung Barat Nomor 306/-1.711.12, tanggal 18 Juni 2019.

"Isinya menyatakan bahwa 'letak persil tidak berada di Kelurahan Cakung Barat', yang oleh Kanwil DKI Jakarta maupun Kantah Jakarta Timur tidak diverifikasi kebenarannya," ungkap Sofyan.

Hasil investigasi Lurah Cakung Barat menurut Sofyan, tidak mempunyai Peta Rincian, sehingga keterangan tersebut menyebabkan kerugian bagi pihak PT Salve Veritate yang telah mempunyai SHM selama 45 tahun.

Karena tindakan tesebut, Lurah Cakung Barat juga akhirnya ditetapkan sebagai tersangka berdasarkan SP2HP No. B/492/V/2021/Dittipidu tanggal 4 Mei 2021.

Setelah SK Pembatalan dari Kepala Kanwil BPN DKI Jakarta dikeluarkan, kemudian terbitlah SHM Nomor 4931/Cakung Barat atas nama Abdul Halim melalui kegiatan PTSL.

Di mana berdasarkan Pasal 29 Permen ATR/BPN Nomor 6 Tahun 2018 tentang PTSL, tanah tersebut masuk ke dalam Kluster 2 atau K2 yang tidak bisa diterbitkan hak-nya.

Kluster 2 adalah bidang tanah yang data fisik dan data yuridisnya memenuhi syarat untuk diterbitkan sertifikat hak atas tanah namun terdapat perkara di Pengadilan dan/atau sengketa.

Karenanya, penerbitan SHM yang semula atas nama Abdul Halim itu kemudian dialihkan atau menjadi atas nama Harto Kusumo.

Padahal, berdasarkan Pasal 39 juncto Pasal 45 PP Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dilarang membuat akta dan Kepala Kantor mengalihkan hak dalam keadaan sengketa.

Pasca-tindakan yang dilakukan oleh Kakanwil BPN DKI Jakarta atas penerbitan SK Pembatalan dan penerbitan hak melalui PTSL, maka Kementerian ATR/BPN melakukan investigasi yang dilakukan oleh Irjen Kementerian ATR/BPN.

Dari investigasi tersebut, terdapat cacat formil maupun materil dalam penerbitan SK Pembatalan, penerbitan SHM dan peralihannya.

Di antaranya yaitu alas hak yang dimiliki Abdul Halim hanya seluas 5,2 hektar sedangkan SHM yang terbit seluas 7,7 hektar dan berdasarkan hasl pengukuran letaknya berbeda dengan letak SHM milik PT Salve Veritate yang dibatalkan.

Hal ini tentu saja bertentangan dengan asas nemo plus iuris transfere (ad alium) potest quam ipse habet, di mana seseorang tidak boleh mengalihkan/memohon hak melebihi yang dipunyainya.

"Karena pelanggaran itu, Kakanwil BPN DKI Jakarta dibebastugaskan dari jabatannya, beserta 10 orang lainnya termasuk Kepala Kantah Jakarta Timur dikenakan sanksi berat," tegas Sofyan.

Kronologi versi Abdul Halim 

Kuasa Hukum Abdul Halim, Hendra, menegaskan bahwa tanah seluas 7,7 hektar tersebut sah, dan merupakan milik Abdul Halim.

Menurut Hendra, tanah tersebut telah didaftarkan secara prosedural dan sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku.

"Kalau dikatakan tidak dilakukan dengan prosedur, itu justru dilakukan sesuai prosedur, ada pengukuran, pengecekan lapangan, segala macam, dan kita ada dokumentasi semuanya," kata Hendra.

Dia menampik bahwa SK Kanwil BPN DKI Jakarta yang menerbitkan kepemilikan tanah atas nama Abdul Halim tersebut cacat administrasi.

SK tersebut terbit setelah dilakukan pengecekan dan pengukuran lapangan oleh Kantor Wilayah BPN Provinsi DKI yang dilengkapi dengan surat tugas.

"Jika dikatakan SK Kanwil terbit tanpa ada cek lapangan segala macam, itu ada surat tugasnya untuk melakukan pengecekan segala macam, dokumentasinya juga ada," imbuh Hendra.

"Bahkan ketika pengukuran itu ada petugas dari BPN dan melibatkan orang kelurahan juga," lanjutnya.

Hendra menuturkan, Abdul Halim telah mengajukan pembatalan kepemilikan hak atas tanah sesuai dengan peraturan perundang-undangan dalam hal ini yaitu PP Nomor 9 Tahun 1999.

Dalam Bab IV Pasal 104 ayat 2 disebutkan secara jelas tata cara pembatalan hak atas tanah.

"Pembatalan hak atas tanah sebagaimana dimaksud pada ayat 1 diterbitkan karena terdapat cacat hukum administrasi dalam penerbitan keputusan pemberian dan/atau sertifikat hak atas tanahnya atau melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap," bunyi aturan tersebut.

Selanjutnya, Pasal 106 juga menerangkan bahwa keputusan pembatalan hak atas tanah karena cacat hukum administrasi dalam penerbitannya dapat dilakukan karena permohonan yang berkepentingan atau oleh pejabat yang berwenang tanpa permohonan.

"Permohonan pembatalan hak dapat diajukan atau langsung kepada menteri atau pejabat yang ditunjuk atau melalui Kepala Kantor Pertanahan," bunyi Pasal 106 ayat 2 aturan itu.

"Kami lantas melapor dan mengurus secara prosedural ke Kantah Jakarta Timur dan Kanwil DKI Jakarta," ungkapnya.

Dia kemudian menegaskan bahwa SK Kanwil BPN Provinsi DKI Jakarta tersebut sama sekali tidak mengatakan atau menerbitkan SHM atas nama Abdul Halim, melainkan memberikan kepada para pihak untuk melegalkan haknya baik melalui lembaga peradilan maupun non-peradilan.

Sedangkan Sofyan menyebut bahwa Abdul Halim telah memiliki bukti kepemilikan yang sah atas tanah seluas 7,7 hektar tersebut.

"Nah setelah itu barulah Abdul Halim ini mengajukan permohonan PTSL-nya kepada BPN DKI Jakarta. Artinya sah dong, kan lembaga non-peradilan. Jika PT Salve Veritae ini mengaku bahwa itu adalah tanahnya dia, ya kan bisa mengajukan juga ke BPN, nanti BPN tinggal merespon aduan tersebut," ujarnya.

Sebelum mengajukan permohonan PTSL kepada BPN DKI Jakarta, Abdul Halim memiliki bukti kepemilikan lahan dalam bentuk girik berikut akta jual beli (AJB).

Meski demikian, dia menuturkan hingga saat ini pihaknya masih akan terus menunggu proses pengadilan yang masih berlangsung.

"Sambil menunggu, kami juga akan lakukan upaya hukum jika ada hak-hak Abdul Halim yang dilanggar. Kami juga akan meminta dan memohon perlindungan hukum kepada presiden," tuntas Hendra.

https://www.kompas.com/properti/read/2021/06/11/070000521/abdul-halim-versus-kementerian-atr-bpn-lahan-77-hektar-punya-siapa

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke