Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Pardomuan Gultom
Dosen

Dosen STIH Graha Kirana

Mencermati Status AI dalam Hukum Kekayaan Intelektual

Kompas.com - 29/04/2024, 13:22 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

AI merupakan titik balik peradaban ke dunia teknologi modern. Secara sederhana, AI dapat dikatakan sebagai penciptaan sistem berbasis komputer yang secerdas manusia.

John McCarthy, yang dianggap sebagai “Bapak Kecerdasan Buatan”, menggambarkan AI sebagai ilmu membuat kecerdasan manusia dalam mesin (McCarthy, 2007).

Ketika McCarthy ditanya “apa itu AI?”, ia menjawab: “hal tersebut merupakan ilmu dan teknik pembuatan mesin cerdas, khususnya program komputer cerdas yang terkait dengan tugas serupa menggunakan komputer untuk memahami kecerdasan manusia, tetapi AI tidak harus melakukannya dengan metode yang dapat diamati secara biologis.”

Selama dekade terakhir, AI telah menghasilkan karya-karya luar biasa, seperti buku berjudul “The Policeman's Beard is Half Constructed" oleh Racter, AI yang dirancang untuk menghasilkan prosa dan puisi, piano Deep-Mind AI Google, komputer yang mampu menghasilkan lukisan 3 dimensi (3D) bernama Next Rembrandt, dan gambar Edmond Belamy yang laku dijual seharga 432.500 dollar AS.

Selain itu, Deep Blue yang merupakan produk IBM RS/6000 SP, pada tahun 1996 mampu mengalahkan Garry Kasparov.

Meski demikian, kemenangan komputer sebagai media AI bukan menunjukkan bahwa AI lebih cerdas dari manusia. Hal tersebut mengindikasikan bahwa AI dianggap sebagai pendukung dalam memberikan keputusan yang cerdas bagi manusia.

Dengan kemampuan AI memproduksi karya kreatif, menimbulkan pertanyaan tentang kepemilikan karya kreatif tersebut.

Jika AI kreatif, dapatkah teknologi tersebut memiliki kekayaan intelektual? Hal ini masih menimbulkan perdebatan, baik dari sisi aspek originalitas produk AI, subjek hukum hak cipta AI, maupun posisi hukum penghasil atau yang bertanggung jawab terhadap suatu produk AI.

Originalitas dan kepemilikan karya cipta

Teknologi AI yang dapat menciptakan suatu karya seni atau bahkan menciptakan produk dapat memengaruhi model perlindungan hak kekayaan intelektual atas suatu karya.

Hingga saat ini belum terdapat ketentuan, baik dalam bentuk instrumen internasional, maupun dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia yang secara spesifik mengatur keberadaan AI sehingga dapat menimbulkan ketidakpastian hukum.

Terdapat berbagai penemuan hukum dan interpretasi yang dilakukan dalam upaya perlindungan AI dalam konsep originalitas atas kekayaan intelektual.

Misalnya, pengadopsian konsep droit d'auteur dari hukum perdata dalam kasus Infopaq International A/S vs Danske Dagblades Forening (2009), dimana Court of Justice of the European Union (CJEU) ketika ditanya apakah mereproduksi 11 kata dapat dianggap sebagai pelanggaran hak cipta.

Instrumen hukum internasional, seperti Konvensi Berne dan TRIPs Agreement, tidak memberikan definisi bagi subjek yang menghasilkan suatu karya (authorship).

Kedua instrumen hukum tersebut hanya memberikan definisi pencipta suatu karya kepada orang yang menciptakan karya asli.

Apa yang dianggap original dari suatu karya tidak memiliki keseragaman pendapat di semua negara atau yurisdiksi hukum.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com