Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Pardomuan Gultom
Dosen

Dosen STIH Graha Kirana

Mencermati Status AI dalam Hukum Kekayaan Intelektual

Kompas.com - 29/04/2024, 13:22 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

KEMENTERIAN Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) pada 19 April 2024, menerbitkan siaran pers bernomor 276/HM/Kominfo/04/2024 yang berisi ide penyusunan regulatory framework terkait teknologi berbasis Kecerdasan Buatan (Artificial Intelligence/AI).

Menkominfo Budi Arie menyebutkan, regulatory framework AI dimaksudkan untuk mengatasi risiko yang dapat muncul dari pemanfaatan teknologi ini di Indonesia.

Namun, konsep regulatory framework yang dimaksudkan oleh Kemkominfo belum begitu jelas, apakah dalam bentuk peraturan menteri atau produk undang-undang.

Penting untuk melihat AI tidak saja sebagai bagian dari perkembangan teknologi, tetapi juga status hukumnya ketika AI diperhadapkan pada persoalan hukum yang dapat timbul di kemudian hari.

Posisi hukum AI penting untuk dicermati ketika model teknologi ini sewaktu-waktu menimbulkan permasalahan, khususnya dalam hal pemanfaatan kekayaan intelektual yang dapat menghasilkan keuntungan ekonomi.

Perlindungan kekayaan intelektual

Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, konsepsi mengenai kekayaan turut mengalami perubahan.

Saat ini sistem hukum meletakkan kekayaan ke dalam 3 (tiga) kategori. Pertama, sebagian besar masyarakat mengakui hak kepemilikan pribadi dalam kekayaan pribadi yang berwujud atau yang dikenal dengan istilah “tangible things”.

Kedua, kekayaan dalam pengertian riil, seperti tanah dan bangunan. Ketiga, kekayaan yang diketahui sebagai kekayaan intelektual atau intangible things.

Terkait kekayaan intelektual, hak kekayaan tersebut secara global diakui dalam bentuk produk ide, seperti dalam bentuk hak cipta, paten, merek dan rahasia dagang, tata letak sirkuit terpadu, varietas tanaman (Alfons, 2017).

Terkait dengan intangible things, David Bainbridge memberikan rumusan kekayaan intelektual sebagai hak-hak hukum yang terkait dengan upaya kreatif atau reputasi yang bersifat komersial sebagai hak milik pencipta yang berkaitan dengan berbagai karya cipta (Bainbridge, 2010).

Dan pentingnya perlindungan terhadapnya mulai diakui dalam Paris Convention for the Protection of Industrial Property 1883 (Konvensi Paris untuk Perlindungan Properti Industri) dan Berne Convention for the Protection of Literary and Artistic Works 1886 (Konvensi Berne untuk Perlindungan Karya Sastra dan Artistik).

John Maeda dalam bukunya berjudul “The Laws of Simplicity: Design, Technology, Business, Life”, menyebutkan bahwa kreativitas adalah tentang kepemilikan (Creativity is about Ownership) (Maeda, 2006).

Melalui hukum kekayaan intelektual (Intellectual Property Law), hak cipta memiliki dasar hukum untuk memiliki dan mendapatkan keuntungan ekonomi dari kegiatan atau karya kreatif pemiliknya, seperti karya novel, program komputer, gambar, film, siaran televisi, pertunjukan dan juga obat-obatan (Bently et. al., 2022).

Apa itu AI?

Secara konseptual, AI sebagai karya kreatif bidang teknologi sulit untuk didefinisikan. Namun, ia dapat digambarkan sebagai bidang sains dan seperangkat teknologi komputasi yang terinspirasi oleh cara manusia menggunakan sistem saraf dan tubuhnya untuk merasakan, belajar, dan mengambil tindakan.

Menurut Nils J. Nilsson, definisi AI yang diakui secara luas adalah kegiatan yang dikhususkan untuk membuat mesin menjadi cerdas dan kualitas kecerdasan tersebut yang memungkinkan suatu perusahaan berfungsi dengan tepat dan mempunyai visi ke depan (Nilsson, 2009).

AI merupakan titik balik peradaban ke dunia teknologi modern. Secara sederhana, AI dapat dikatakan sebagai penciptaan sistem berbasis komputer yang secerdas manusia.

John McCarthy, yang dianggap sebagai “Bapak Kecerdasan Buatan”, menggambarkan AI sebagai ilmu membuat kecerdasan manusia dalam mesin (McCarthy, 2007).

Ketika McCarthy ditanya “apa itu AI?”, ia menjawab: “hal tersebut merupakan ilmu dan teknik pembuatan mesin cerdas, khususnya program komputer cerdas yang terkait dengan tugas serupa menggunakan komputer untuk memahami kecerdasan manusia, tetapi AI tidak harus melakukannya dengan metode yang dapat diamati secara biologis.”

Selama dekade terakhir, AI telah menghasilkan karya-karya luar biasa, seperti buku berjudul “The Policeman's Beard is Half Constructed" oleh Racter, AI yang dirancang untuk menghasilkan prosa dan puisi, piano Deep-Mind AI Google, komputer yang mampu menghasilkan lukisan 3 dimensi (3D) bernama Next Rembrandt, dan gambar Edmond Belamy yang laku dijual seharga 432.500 dollar AS.

Selain itu, Deep Blue yang merupakan produk IBM RS/6000 SP, pada tahun 1996 mampu mengalahkan Garry Kasparov.

Meski demikian, kemenangan komputer sebagai media AI bukan menunjukkan bahwa AI lebih cerdas dari manusia. Hal tersebut mengindikasikan bahwa AI dianggap sebagai pendukung dalam memberikan keputusan yang cerdas bagi manusia.

Dengan kemampuan AI memproduksi karya kreatif, menimbulkan pertanyaan tentang kepemilikan karya kreatif tersebut.

Jika AI kreatif, dapatkah teknologi tersebut memiliki kekayaan intelektual? Hal ini masih menimbulkan perdebatan, baik dari sisi aspek originalitas produk AI, subjek hukum hak cipta AI, maupun posisi hukum penghasil atau yang bertanggung jawab terhadap suatu produk AI.

Originalitas dan kepemilikan karya cipta

Teknologi AI yang dapat menciptakan suatu karya seni atau bahkan menciptakan produk dapat memengaruhi model perlindungan hak kekayaan intelektual atas suatu karya.

Hingga saat ini belum terdapat ketentuan, baik dalam bentuk instrumen internasional, maupun dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia yang secara spesifik mengatur keberadaan AI sehingga dapat menimbulkan ketidakpastian hukum.

Terdapat berbagai penemuan hukum dan interpretasi yang dilakukan dalam upaya perlindungan AI dalam konsep originalitas atas kekayaan intelektual.

Misalnya, pengadopsian konsep droit d'auteur dari hukum perdata dalam kasus Infopaq International A/S vs Danske Dagblades Forening (2009), dimana Court of Justice of the European Union (CJEU) ketika ditanya apakah mereproduksi 11 kata dapat dianggap sebagai pelanggaran hak cipta.

Instrumen hukum internasional, seperti Konvensi Berne dan TRIPs Agreement, tidak memberikan definisi bagi subjek yang menghasilkan suatu karya (authorship).

Kedua instrumen hukum tersebut hanya memberikan definisi pencipta suatu karya kepada orang yang menciptakan karya asli.

Apa yang dianggap original dari suatu karya tidak memiliki keseragaman pendapat di semua negara atau yurisdiksi hukum.

Seperti di Inggris, dalam kasus University of London Press v. University Tutorial Press dan kasus Ladbroke vs William Hill (1964), pengadilan memberi pendapat bahwa originalitas sebuah karya menyangkut semua aspek yang telah dimanifestasikan, seperti tenaga kerja, keterampilan, dan upaya yang telah dilakukan.

Subjek dan objek karya cipta AI

Perlakuan yang berbeda dalam hal perlindungan suatu karya cipta tergantung pada apakah karya tersebut diciptakan oleh AI atau oleh manusia.

Karya yang mendapat perlindungan hak cipta adalah karya yang diciptakan oleh manusia atau orang (natuurlijke persoon) yang merupakan subjek hukum.

Dengan demikian, jika AI menjadi pengganti dalam membuat suatu karya yang diciptakan manusia, maka karya tersebut tidak mendapat perlindungan karena subjek hukum penciptanya bukan manusia.

Penegasan terhadap manusia sebagai pencipta suatu karya cipta dapat ditemukan dalam UU No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (UUHC).

Dalam Pasal 1 UUHC disebutkan bahwa Pencipta adalah seorang atau beberapa orang yang secara sendiri-sendiri atau bersama-sama menghasilkan suatu ciptaan yang bersifat khas dan pribadi (Hukumonline, 2022).

Untuk itu, posisi AI sebagai karya cipta yang dapat menghasilkan kreasi atau ciptaan tidak dianggap sebagai subjek dalam rezim hukum kekayaan intelektual.

Ciptaan yang dihasilkan AI menimbulkan pertanyaan terkait status hukum AI. Posisi AI dalam hukum hak cipta membuat manusia untuk memosisikan kembali konsep pencipta dalam hak cipta, bukan hanya masalah kepemilikan karya cipta (authorship) dan ketentuan perlindungannya, tetapi juga posisi AI antara domain privat atau domain publik, serta alasan yang mendasari perlindungan AI sebagai kekayaan intelektual.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com