Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Yayang Nanda Budiman
Legal Content Writer

Legal Content Writer, Kontributor Lepas Literasi Hukum Indonesia, Pinter Hukum, LTS Indonesia, Penulis The Columnist.Id, Pengarang Jendela Hukum

"Virtual Office" sebagai Model Bisnis, Bagaimana Aspek Legalitasnya?

Kompas.com - 08/01/2024, 12:56 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

DISRUPSI dan akselerasi perubahan zaman menjadi tantangan yang tak dapat terhindarkan. Selama hampir dua dekade terakhir teknologi memiliki peran strategis dalam mengintervensi setiap lini kehidupan interaksi manusia (pendidikan, sosial, budaya hingga ke dunia bisnis swasta)

Adaptasi sudah menjadi keharusan yang tak bisa diabaikan, khususnya oleh para pelaku usaha yang terus-menerus “dipaksa” bertansformasi dan berinovasi mengikuti arus perkembangan.

Tanpa melibatkan nilai-nilai adaptif dan fleksibelitas atas situasi yang terjadi hari ini, seorang pelaku usaha cepat atau lambat bisa saja tenggelam dengan mudah dari persaingan permukaan pasar yang semakin kompetitif.

Sinyal penebalan dan intensitas transformasi digital semakin terlihat ketika pandami Covid-19 melanda dunia, beberapa tahun lalu. Pandemi memaksa manusia kompromi untuk membatasi ruang interaksi sosial.

Menghadapi kendala tersebut, setiap sektor pemerintahan dan swasta perlahan mulai mengembangkan serta memberlakukan interaksi digital dengan memanfaatkan beragam aplikasi di internet seperti penggunaan virtual office sebagai solusi alternatif.

Selain sebagai jawaban atas hambatan yang dialami karena kondisi pandemi kala itu, pemanfaatan virtual office nampaknya juga berguna bagi para pelaku usaha untuk menekan ongkos operasional jauh lebih hemat serta meningkatkan efisiensi kerja karyawan.

Keberadaan virtual office di tengah keterbatasan ruang gerak menjadi angin segar bagi para pelaku usaha untuk tetap produktif dan bertahan. Hasilnya, sekarang sudah banyak website yang menawarkan jasa penyewaan ruang virtual office dengan biaya sewa bervariasi.

Namun terlepas dari nilai efisiensinya, ternyata masih banyak pelaku usaha yang belum mengetahui secara pasti perihal aspek legalitas, perizinan dan regulasi dari pemerintah menyangkut pemanfaatan virtual office sebagai instrument usaha.

Penulis mencoba memberikan gambaran secara luas menyangkut penggunaan virtual office dari sudut pandang hukum

Aspek legalitas virtual office

Secara definisi, Michelle Jamisson (2010) dalam ‘Virtual Office Essentials’ menjelaskan bahwa virtual office merupakan layanan yang mengizinkan karyawan bekerja secara efisien, baik secara personal maupun secara kelompok, tanpa membutuhkan suatu tempat fisik sebagai ruang kerja.

Virtual office masih memantik beragam perdebatan terlebih soal domisili perusahaan yang bias karena semua interaksi dilakukan dalam format digital.

Menjawab masalah tersebut, jika melihat dari aspek legalitas badan usaha virtual office yang berbentuk Perseroan Terbatas (PT), maka perihal tempat kedudukannya harus tunduk pada ketentuan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.

Lebih detail, dalam penjelasan Pasal a quo dijelaskan bahwa tempat kedudukan Perseroan sekaligus merupakan kantor pusat Perseroan; dan Perseroan wajib mempunyai alamat sesuai dengan tempat kedudukannya yang harus disebutkan, antara lain dalam surat-menyurat, dan melalui alamat tersebut Perseroan dapat dihubungi.

Namun perlu diketahui juga oleh para pelaku usaha bahwa ternyata tidak semua jenis usaha dapat mempergunakan jasa virtual office. Misalnya, pariwisata, e-commerce, konstruksi, properti, event organizer dan jenis usaha transportasi.

Beberapa contoh tersebut merupakan jenis usaha yang tidak dapat menggunakan kantor virtual dengan alasan jenis usaha tersebut diharuskan untuk mencantumkan alamat dan lokasi kantor yang jelas.

Oleh karena itu, masalah alamat atau tempat kedudukan perseroan merupakan hal yang sangat penting (vide Pasal 15 Ayat (1) huruf a UU PT) serta harus disebutkan dalam pengesahan status badan hukum.

Demikian para pelaku usaha harus memperhatikan juga beberapa hal mengapa aspek legalitas terhadap pemanfaatan virtual office itu penting.

Pertama, untuk memenuhi setiap butir yang dipersyaratkan pemerintah dalam peraturan perundang-undangan. Hal ini sangat mendasar untuk meminimalkan terjadinya sengketa akibat kecacatan prosedur hukum.

Kedua, memberikan rasa kepercayaan kepada mitra bisnis bahwa perusahaan yang kita miliki memiliki kredibilitas, ekosistem kerja yang sehat dan portfolio baik.

Sebagai contoh, di wilayah DKI Jakarta, pengaturan soal kator virtual sudah ada sebagai akibat Perda DKI No. 1 Tahun 2014 tentang Zonasi, meskipun tahun lalu Perda tersebut sudah resmi dicabut dan digantikan dengan Peraturan Gubernur Nomor 31 Tahun 2022.

Selain itu, secara spesifik pengaturan soal virtual office di DKI Jakarta telah diatur dalam Surat Edaran PTSP DKI Jakarta Nomor 6 Tahun 2016 yang secara khusus Surat Edaran a quo mengatur soal perizinan (syarat dan ketentuan), kriteria yang harus dipatuhi, dll.

Kendala regulasi virtual office

Keberadaan virtual office dalam praktiknya masih memiliki beragam kompleksitas tantangan terutama dari segi hukum, mulai dari objek virtual office sebagai suatu kebendaan yang dapat dijadikan objek suatu perjanjian dalam hukum Indonesia, dan beberapa hal yang menyangkut prosedur formil (syarat dan ketentuan) yang belum diatur secara lengkap, komprehensif dan jelas dalam peraturan perundang-undangan.

Penggunaan virtual office di Indonesia mengalami peningkatan yang masif, namun sampai saat ini masih belum ditemukannya peraturan perundang-undangan yang dapat dijadikan sebagai pedoman.

Meskipun dalam prosesnya pemanfaatan virtual office dapat juga dilihat dari beberapa payung hukum yang relevan, seperti Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.

Konsekuensi atas keterbatasan payung hukum tersebut dalam praktiknya ada kemungkinan terjadinya suatu kerugian, baik yang diderita oleh pengguna jasa dalam posisinya sebagai konsumen dan kerugian yang diderita oleh penyedia jasa dalam posisinya sebagai pelaku usaha.

Kendala lain, misalnya, dalam konteks hukum perpajakan. Walaupun telah diterbitkan Peraturan Menteri yang menjelaskan tentang pengguna kantor virtual sudah dapat dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, tetapi aturan tersebut dianggap belum cukup kuat karena diduga masih banyak celah hukum terkait pengaturan domisili, pengawasan, dan proses verifikasi pengukuhan Pengusaha Kena Pajak.

Oleh karena itu perlu adanya aturan khusus yang membahas tentang batasan-batasan pengguna kantor virtual secara komprehensif dan sistematis sesuai dengan kebutuhan perkembangan zaman.

Dari semua kendala yang dihadapi para pelaku usaha dalam menggunakan model bisnis melalui virtual office kita berharap ke depan pemerintah, baik eksekutif dan legislatif segera mengevaluasi, membahas dan membentuk payung hukum yang mengatur secara khusus soal pemanfaatan virtual office.

Dengan demikian, dapat memberikan kepastian, keadilan, dan kemanfaatan bagi para pelaku usaha pengguna virtual office pada masa depan.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com