Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Prof. Dr. Ahmad M Ramli
Guru Besar Cyber Law & Regulasi Digital UNPAD

Guru Besar Cyber Law, Digital Policy-Regulation & Kekayaan Intelektual Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran

"Landmark Decision" Pengadilan Tentang AI dan Paten

Kompas.com - 28/12/2023, 10:27 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

DALAM artikel saya sebelumnya "Kontroversi AI Spesies Baru Mahluk Hidup dan Putusan Pengadilan" (Kompas.com, 27/12/2023), sudah diuraikan terkait sikap Mahkamah Agung Inggris yang menolak Articial Intelligence (AI) sebagai penemu atau inventor paten.

Reuters menyebut putusan itu sebagai putusan penting, dan menurunkan berita dengan judul “AI cannot be patent inventor, UK Supreme Court rules in landmark case” (20/12/2023).

Artikel ini saya tulis, untuk menjawab beberapa pertanyaan terkait bagaimana detail putusan Mahkamah Agung Inggris itu. Saya mencoba merangkumnya dalam artikel kolom ini.

Putusan [2023] UKSC 49

Putusan MA Inggris ini tentu masih hangat dan aktual. Putusan itu baru dipublikasikan pada 20 Desember 2023 dengan nomor [2023] UKSC 49.

Kenapa kasus ini begitu menyita perhatian dunia ? Selain hal ini merupakan upaya tanpa lelah dan pantang menyerah kesekian kalinya yang dilakukan ilmuwan dan peneliti AI asal AS berusia 73 tahun, Dr. Stephen Thaler. Kasus ini menjadi kontroversi, termasuk di kalangan pengembang AI sendiri.

Tak tanggung, gugatan dilakukan Dr. Thaller di beberapa pengadilan lintas yurisdiksi, di berbagai negara.

Intinya, ia meminta agar pengadilan mengakui AI buatannya yang bernama “Device for Autonomous Bootstrapping of Unified Sentience (DABUS)” sebagai penemu atau inventor paten, dan bukan sekadar obyek paten.

Dengan kata lain, Dr. Thaler menginginkan agar yang diakui sebagai penemu paten, bukan hanya manusia. AI sebagai mesin kecerdasan buatan juga bisa diberi status hukum sebagai inventor.

Seperti telah diuraikan dalam artikel saya sebelumnya, Dr. Thaller memiliki keinginan agar AI ciptaannya diakui sebagai spesies baru makhluk hidup.

Rupanya Mahkamah Agung Inggris, yang juga ketiban kasus serupa, menunjukan sikap dan pendirian sama dengan Mahkamah Agung AS, Australia, pengadilan Uni Eropa, Selandia Baru, Koream dan beberapa negara lain terkait landmark case paten Dabus ini seperti yang akan saya uraikan di berikut ini.

Agar bisa memahami secara komprehensif, berikut ini diuraikan ringkasan putusan Mahkamah Agung Inggris, sebagai mana dipublikasikan oleh Supreme Court.UK “Thaler (Appellant) v Comptroller-General of Patents, Designs and Trade Marks (Respondent) [2023] UKSC 49” pada 20 Desember 2023.

Putusan Mahkamah Agung Inggris, diputus oleh lima orang Hakim Agung, yaitu Lord Hodge, Lord Kitchin, Lord Hamblen, Lord Leggatt, Lord Richards. Jumlah hakim yang mengadili setidaknya menunjukan seriusnya kasus ini.

Pada Oktober dan November 2018, Dr Stephen Thaler mengajukan dua permohonan bernomor GB18116909.4 dan GB1818161.0 untuk mendapatkan paten.

Thaller menyebut penemuan itu sebagai invensi baru (new invention), berupa perangkat dan metode yang berguna.

Kasus tersebut dimulai pada 2018, ketika Thaler mendaftarkan model AI miliknya, yang dijuluki DABUS, sebagai inventor paten wadah makanan, dan lampu suar yang berkedip saat darurat.

Untuk bisa mendapatkan paten granted, maka harus memenuhi prasyarat invensi baru, novelty, dan dapat diterapkan dalam industri secara berulang.

Dr. Thaler mengajukan permohonan berdasarkan UU Paten Inggris 1977. Persoalan dimulai saat dalam pengajuan itu, Dr. Thaler justru menyebut dirinya bukanlah penemunya.

Penemunya bukan manusia, tetapi mesin yang disebutnya DABUS. platform berkekuatan AI itu, ia sebut dapat melakukannya secara mandiri. Ia bersikeras, hal itu sesuai UU Paten Inggris 1977.

Alkisah, pada 4 Desember 2019, Pejabat Kantor Paten atau "Officer for the Comptroller, Intellectual Property Office (IPO)", mengeluarkan keputusan bahwa DABUS tidak memenuhi syarat sebagai inventor.

Berdasarkan UU Paten 1977, mesin atau AI yang bukan manusia tidak berhak mengajukan paten.

Putusan IPO ini membuat proses menjadi begitu panjang. Dr. Thaler keukeuh mengajukan banding. Singkat kata, upaya ini ditolak oleh pengadilan tinggi.

Tak gentar dan pantang mundur, Penggugat mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung Inggris.

Pendirian UKSC

Lima orang hakim Mahkamah Agung menguatkan pengadilan lebih rendah. Walhasil, dengan suara bulat majelis hakim kasasi menolak permohonan tersebut. Putusan Officer for the Comptroller dinyatakan sudah benar.

Hakim Lord Kitchin membuat putusan dan disetujui oleh semua hakim yang mengadili perkara tersebut lainnya. Dalam memutus perkara ini, majelis hakim merinci tiga isu penting.

Pertama, MA Inggris menegaskan tentang prasyarat bahwa individu manusia yang berhak sebagai penemu paten. Sikap ini tentu bernuansa sangat normatif sesuai UU 1977 tentang paten.

Berdasarkan ruang lingkup dan makna UU 1977, Mahkamah Agung berpendapat, penemu atau inventor haruslah orang perseorangan dan bukan mesin atau lainnya.

Untuk memutus kasus ini, Mahkamah juga meneliti yurisprudensi. Komparasi ini sebagai konfirmasi kebenaran penafsiran.

Kasus yang dirujuk adalah "Rhone-Poulenc Rorer International Holdings Inc v Yeda Research and Development Co Ltd [2007] UKHL 43".

Mahkamah juga mendasarkan pada norma pasal 7(2) dan pasal 7(3) jo. pasal 13 UU Paten 1977. Tentang siapa yang berhak atas pemberian paten. Kesimpulannya tetap sama dan sebangun, inventor harus orang perseorangan.

Sepasang pasal ini, pada prinsipnya tidak membuka ruang bagi penemu atau inventor paten selain manusia. Gugatan ditolak, karena tak terpenuhinya prasyarat ini.

Kedua, Mahkamah menyatakan, karena Dr Thaler adalah pemilik atas invensi yang dibuat oleh DABUS, maka ia tetap berhak untuk mengajukan dan mendapatkan paten tersebut.

Sikap ini tentu penting karena tidak menghilangkan hak Penggugat sebagai pembuat DABUS, untuk tetap menjadi inventor patennya. Meskipun Dr Thaller menyebut DABUS melakukannya secara mandiri.

Namun penggugat tampak tak puas. Menurut dia, UU 1977 mengakui adanya properti dalam suatu penemuan, pada saat penemuan tersebut dibuat. Menurut dia, sebagai pemilik DABUS, ia berpegang doktrin aksesi.

Mahkamah tak sependapat. Menurut putusan MA Inggris itu, Doktrin aksesi, secara hukum, tidak bertujuan memberi penggugat properti atau hak untuk mengajukan dan mendapatkan paten yang dibuat oleh DABUS secara mandiri.

Ketiga, Mahkamah menilai pendapat Officer for the Comptroller juga sudah benar. Dr Thaler tidak memenuhi salah satu persyaratan dalam pasal 13(2) Undang-undang tahun 1977.

Majelis Hakim MA Inggris menyatakan hakim pengadilan tinggi tidak melakukan kesalahan. MA Inggris menguatkan putusan tersebut dan dengan suara bulat menolak permohonan tersebut. Putusan yang disebut sebagai Landmark Decision (LD) diambil.

Landmark Decision, suatu putusan di mana hakim menerapkan prinsip atau konsep hukum baru yang signifikan. Atau hal lain yang secara substansial mengubah penafsiran hukum yang ada (US Court “Landmark Case” 2023).

Dalam praktik Landmark Decision, hakim dapat menerapkan asas baru untuk menyempurnakan asas yang sudah ada. Dengan demikian, ada kemungkinan menyimpang dari praktik yang sudah ada.

Dalam konteks Landmark Decision, hakim juga dapat menetapkan pengujian atau menetapkan standar terukur dalam pengambilan keputusan bersifat ius constituendum, sebagai landasan hukum yang menjadi cita-cita masa depan.

Di AS, Landmark Decision sering dilakukan Mahkamah Agung. Kasus terkait AI seperti DABUS adalah fenomena baru. Sehingga hakim perlu secara cermat memahami semua detail dan korelasinya dengan ekosistem dan perkembangan AI.

Di sinilah pentingnya pemahaman hukum dan UU tidak mungkin steril dari anasir-non hukum. Sudah saatnya profesi hukum menjadikan teknologi mutakhir dan rezim cyberlaw sebagai pengetahuan. Siapapun dan profesi apapun tak lepas dari transformasi digital.

Antisipasi dan prediksi perkembangan AI, yang berpotensi mendisrupsi, bahkan mengancam eksistensi manusia harus menjadi pertimbangan cermat pengadilan. Demi masa depan umat manusia.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com