Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Pengetahuan AI untuk Para Hakim, Arbiter, dan Penegak Hukum

Pertanyaan ini seringakli muncul, mengingat para hakim, arbiter dan penegak hukum tidak seharusnya dihadapkan pada hal-hal rumit yang bersifat teknis.

Pertanyaan ini mencuat ketika saya presentasi terkait AI dan proses penegakan hukum, yang dihadiri para Hakim Agung dan hakim lainnya, arbiter, dan para penegak hukum.

Tulisan ini adalah bagian dari riset Academic Leadership tentang AI dan hukum di Pusat Studi Cyberlaw dan Transformasi Fakultas Hiukum Universitas Padjadjaran.

Materi ini saya bagikan juga untuk pembaca Kompas.com untuk manfaat lebih luas.

Akal Imitasi (AI)

Untuk memudahkan pemahaman Artificial Intelligence, saya cenderung setuju menggunakan akronim AI sebagai singkatan dari "Akal Imitasi".

Akal imitasi identik dengan kecerdasan artifisial. Singkatan ini juga memiliki kesamaan dengan akronim aslinya, yaitu AI.

Pentingnya pengetahuan tentang AI bagi para hakim, arbiter, dan penegak hukum menjadi perhatian berbagai negara. Hal ini tentu karena AI telah mengintervensi hampir semua sisi kehidupan, termasuk ekosistem pengadilan.

Di Amerika Serikat, terkait hal ini, Lembaga Pemerintah National Institute of Standards and Technology (NIST) mendanai riset dan publikasi tentang Artificial Intelligence and the Courts: Materials for Judges, yang proyeknya dilaksanakan oleh American Association For The Advancement of Science (AAAS).

Proyek ini bertujuan mengembangkan sumber informasi awal terkait AI yang diperlukan untuk mendukung hakim, dalam menangani semakin banyak kasus yang melibatkan Akal Imitasi (AI).

Materi ini, dapat membantu para hakim mengenal berbagai aspek AI, yang semakin banyak digunakan.

Materi disiapkan oleh para ahli di bidang terkait multidisiplin, dan diselesaikan melalui proses yang menjamin keakuratan teknis konten dan kegunaannya bagi para hakim.

Materi dirancang sedemikian rupa agar mudah dipahami berupa podcast disertai transkrip. Para ahli mendiskusikan topik-topik yang akan membantu menempatkan peningkatan penggunaan AI di bidang hukum dalam konteksnya.

Konten juga menawarkan beberapa saran untuk hakim dan mempersilakan untuk mempertimbangkannya.

AI dan pengadilan

Pentingnya pemahaman AI oleh para hakim, arbiter dan penegak hukum, setidaknya ditunjukan oleh realitas bahwa keberadaan AI saat ini sudah begitu dekat, dan beririsan dengan kehidupan manusia. Tak terkecuali pengadilan.

Dilansir MIT Technology Review 2024, bahwa tahun 2023 merupakan tahun yang bersejarah di mana UU AI pertama disetujui di Uni Eropa, dengar pendapat Senat dan dikeluarkannya Perintah Eksekutif Presiden Joe Biden di Amerika Serikat. Dan lahirnya regulasi di Tiongkok terkait algoritma.

Jika tahun 2023 adalah tahun di mana para pembuat undang-undang menyepakati sebuah visi, maka tahun 2024 akan menjadi tahun di mana kebijakan-kebijakan mulai berubah menjadi tindakan nyata.

AI sudah menjadi instrumen tata Kelola sistem pengadilan di banyak negara. Tak hanya itu, AI juga sudah menjadi obyek dan alat bukti peristiwa kriminal seperti dalam kasus deepfake.

Seperti dikatakan dalam tulisan mantan Hakim Senior Belanda Judge Dory Reiling yang juga pernah bekerja di Dewan Eropa, bahwa bagi pengadilan dan hakim, teknologi informasi dan AI menawarkan peluang baru dan tantangan baru (UNODC 2024).

Tantangan terbesar menyangkut tata kelola peradilan, independensi peradilan, dan pemrosesan kasus. Tantangan lainnya juga mencakup manajemen kasus, teknologi perkantoran, informasi situs web, berita, dan kasus hukum.

Reiling sebagai pakar eksternal UNODC (2024), mencontohkan bahwa Pengadilan Belanda yang memutus lebih dari 50.000 putusan setiap tahunnya, telah menggunakan teknologi informasi.

Instrumen manajemen pengadilan, intranet, email dan beberapa prosedur elektronik dan digital, semuanya dikelola melalui teknologi informasi milik lembaga peradilan, di bawah Dewan Kehakiman Belanda.

Reiling menambahkan, sejauh ini pengembangan teknologi informasi bukanlah isu yang paling sulit. Permasalahan yang paling sulit justru terkait tata Kelola, mengubah proses kerja dan menerapkan prosedur digital.

Hal ini memerlukan proses pengambilan keputusan yang kuat yang diarahkan pada inovasi.

Lembaga peradilan adalah institusi yang memproses dan memutus kasus untuk lahirnya kepastian hukum, memberikan keadilan, dan melindungi hak setiap orang berdasarkan hukum.

Mengubah proses bisnis tidaklah mudah, untuk itu diperlukan pedoman detail yang mudah dipahami dan dipraktikan.

Tantangannya adalah bagaimana tata Kelola dalam memproses kasus beralih ke digital. Tidak sekadar digitalisasi data, tetapi mencakup transformasi digital sistem dan tata kelolanya. Kolaborasi ahli hukum dan teknologi digital adalah keniscayaan.

Untuk merespons teknologi digital, selain diperlukan platform yang bekerja secara sistemik, juga diperlukan regulasi dan pedoman teknis untuk memastikan sistem berjalan dan semua mematuhinya sehingga tercipta kepastian hukum.

Teknologi saja tidak cukup, mengingat pengadilan dimainnya adalah membuat putusan yang melibatkan manusia.

Penelitian Reiling menunjukan, proses yang sederhana dan berjangka pendek, dapat diganti dalam satu operasi jika proses tersebut tidak memerlukan perubahan peraturan.

Sedangkan proses yang lebih rumit dan sudah berjalan lama, harus diubah selangkah demi selangkah, terutama jika proses tersebut juga memerlukan perubahan peraturan.

Pedoman Penggunaan AI

Hal yang juga mendesak diatur oleh lembaga pengadilan adalah, bagaimana memastikan penggunaan AI secara bertanggung jawab. Hal ini penting dilakukan mengingat AI bukan tanpa kelemahan.

Karakter AI generatif (GenAI) yang memproduksi luaran berdasarkan kemampuannya menyusun kalimatnya sendiri, berbasis data yang telah dilatihkan, kerap menghasilkan bias, bahkan halusinasi AI.

Antisipasi juga perlu dilakukan untuk penggunaan Artificial General Intelligence (AGI), sebagai AI yang mampu membuat luaran di luar materi ajar yang telah dilatihkan kepadanya.

Kecerdasan umum buatan (AGI) adalah suatu bentuk AI yang memiliki kemampuan untuk memahami, mempelajari, dan menerapkan pengetahuan di berbagai tugas dan domain. Hal ini dapat diterapkan pada serangkaian kasus penggunaan yang lebih luas dan menggabungkan fleksibilitas kognitif, kemampuan beradaptasi, dan keterampilan pemecahan masalah secara umum (Gartner 2024).

Penggunaan AI Generatif juga seringkali bersoal dengan pelindungan data pribadi dan data perusahaan.

Mahkamah Agung New Zealand mengingatkan untuk jangan memasukan informasi yang sifatnya pribadi atau rahasia ke dalam Chatbot AI. Karena ia dapat mengingat setiap pertanyaan dan informasi yang diajukan, yang mungkin diungkap dan diketahui publik.

Oleh karena itu, semua informasi yang disampaikan ke pengadilan harus terjamin akuntabilitasnya. Pengacara, misalnya, harus memeriksa keakuratan informasi apapun dari ChatbotAI. ChatbotAI dapat memberi luaran kasus yang mungkin tidak akurat.

Chatbot juga pernah memberikan jawaban dan luaran halusinatif, berupa kutipan fiktif, atau jawaban yang mengacu pada pasal UU atau teks hukum yang tidak ada atau salah.

Best practice terkait pedoman penggunaan AI yang dapat dirujuk cukup banyak. Penelitian yang saya lakukan menunjukan, banyak negara sudah melakukan pendekatan dimaksud.

Salah satunya adalah “Council of Europe European Commission for the efficiency of justice (CEPEJ)” yang menyusun Prinsip Etis Penggunaan AI dalam Administrasi Peradilan.

CEPEJ menetapkan 5 prinsip yang meliputi menghormati hak asasi manusia yang mendasar tanpa diskriminasi, kualitas dan keamanan, transparansi, ketidak berpihakan, dan keadilan, serta prinsip AI di bawah kendali pengguna.

Prinsip CEPEJ juga mencakup peningkatan prediktabilitas penerapan hukum, dan konsistensi keputusan pengadilan dalam mencegah diskriminasi.

Penelitian lain dilakukan oleh PwC. Hasil riset menunjukan, semua pengacara, mulai dari penasihat internal dan firma hukum, hingga hakim, perlu memanfaatkan penggunaan AI. Karena akan menjadi alat produktivitas yang sangat diperlukan dalam profesi hukum.

Dikutip dari penelitian PwC, Goldman Sachs memperkirakan bahwa 44 persen tugas pekerjaan legal saat ini dapat diotomatisasi oleh AI (rata-rata semua industri adalah 25 persen).

Seperti yang sering saya kemukakan, hal ini tidak berarti akan menghilangkan profesi hukum. Namun berdampak bahwa mereka yang tidak menggunakan AI, akan digantikan oleh mereka yang menggunakan AI.

Demikian halnya lembaga peradilan. Lembaga yudikatif ini akan banyak berhadapan dengan mereka yang memanfaatkan AI dalam pekerjaan legalnya, sebagai dampak transformasi digital.

Saat ini mungkin lembaga peradilan atau Arbitrase di Tanah Air belum menerapkan AI secara internal dan langsung dalam operasionalnya. Namun AI generatif seperti chatbotAI, telah dengan sangat mudah digunakan oleh siapapun.

GenAI dapat dengan mudah dioperasikan termasuk oleh pengacara dan penegak hukum yang urusannya bermuara di pengadilan atau arbitrase. Demikian juga hakim dan arbiter harus siap menghadapi perkara yang berbasis alat bukti AI.

Lembaga peradilan dan arbitrase di Indonesia juga sudah harus mengantisipasi hal ini. Apa saja pro kontra, peluang, dan risiko penggunaan AI dalam ekosistem pengadilan.

Menghadapi AI yang berkembang luar biasa cepat, maka membuat regulasi tentang prosedur penggunaan AI, dan pedoman pemanfaatan AI, yang berlaku bagi hakim, pengacara dan penegak hukum lainnya, serta semua pemangku kepentingan pengadilan, adalah keniscayaan.

https://www.kompas.com/konsultasihukum/read/2024/03/06/120859180/pengetahuan-ai-untuk-para-hakim-arbiter-dan-penegak-hukum

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke