Peristiwa yang berujung pada bangkitnya Druun kemudian mengakibatkan jatuhnya banyak korban.
Fenomena sosial semacam ini sangat lekat dengan sifat manusia di kehidupan sehari-hari. Antroplog asal Inggris, Edward Burnett Taylor, mengatakan bahwa manusia selalu mengembangkan individual situational learning untuk menghindari rasa sakit dan memenuhi kebutuhan dasar mereka.
Untuk memenuhi kebutuhan tersebut manusia bisa melakukan tindakan menyakiti mahluk hidup lain, termasuk manusia.
Sama halnya dengan segala bentuk penjajahan, di luar dari ekspansi kekuasaan, segala bentuk penjajahan sulit dilepaskan dari konteks pemenuhan kebutuhan dasar manusia.
Perpecahan Kumandra menampilkan berbagai problematika kehidupan, mulai dari keselamatan diri dan kesejahteraan sehingga perebutan permata sihir dapat dimaknai sebagai tindakan penyelamatan diri atau kelompok dengan menyakiti kelompok lain.
Baca juga: Via Vallen Ditunjuk Disney Isi Soundtrack Film Raya and The Last Dragon
Namun, di sisi lain kepercayaan (trust) menjadi salah satu kualitas kemanusiaan yang ingin disampaikan dalam film ini. Peristiwa masa kecil tentang pengkhianatan Namaari membuat Raya kehilangan kepercayaan dan selalu curiga kepada orang lain.
Adalah Sisu Sang the Last Dragon yang terus menyuarakan trust, pengorbanan, dan kebijaksanaan sebagai kualitas kemanusiaan (humanity) yang mampu mengalahkan prasangka, kebencian, dan keserakahan manusia.
Di akhir cerita Sisu berhasil menaklukan hati Namaari yang ambisius dan mengajarkan arti pengorbanan serta keikhlasan kepada Raya. Kemudian konsep trust berhasil menciptakan perdamaian dan menyatukan Kumandra.
Pesan ini menyentil realitas sosial tentang perpecahan dan konflik sosial yang diakibatkan oleh prasangka, kebencian, ketamakan, keinginan untuk berkuasa.
Film ini seolah ingin mengatakan bahwa sudah saatnya manusia saling introspeksi diri dan mengahkhiri permusuhan untuk menciptakan perdamaian di muka bumi ini.
Satu hal lagi yang menarik untuk disoroti dari dari film ini adalah aspek gender yang direpresentasikan melalui tokoh-tokoh utamanya yang didominasi oleh gender perempuan, antara lain, Raya, Sisu, Namaari, dan Virana (Sandra Oh).
Raya and the Last Dragon adalah salah satu dari beberapa film Disney yang menampilkan tokoh perempuan sebagai sosok heroik, berbeda dengan film-film Disney klasik seperti Cinderella dan Sleeping Beauty yang membatasi ruang gerak tokoh perempuan di ranah publik.
Baca juga: 3 Fakta Menarik Film Animasi Terbaru Disney, Raya and The Last Dragon
Film-film Disney saat ini lebih menunjukkan dukungannya kepada isu kesetaraan gender, seperti dalam Moana, Frozen, Finding Dory, Brave, dan lain-lain.
Isu kesetaraan gender dalam film Raya and the Last Dragon bisa terlihat dari tokoh Raya, seorang petualang yang pandai bela diri, mandiri, dan pemberani, sama halnya dengan sosok Namaari yang pemberani dan ambsius serta sosok Virana yang otoriter.
Mitos tentang konsep femininitas yang sering dilekatkan dengan gender perempuan dinegosiasikan. Anggapan bahwa perempuan adalah sosok yang lemah baik secara fisik maupun psikis dalam kerangka berpikir masyarakat patriarkis juga dibantah dalam film ini.