Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

WNI Korban Perdagangan Orang di Thailand: Kami Harus Tunggu Berapa Tahun Lagi untuk Pulang?

Kompas.com - 14/07/2023, 19:00 WIB
BBC News Indonesia,
Irawan Sapto Adhi

Tim Redaksi

NAYPYIDAW, KOMPAS.com - Diliputi rasa rindu dengan rumah dan keluarga di Indonesia, David dan Joy mengaku frustasi menanti kabar kepulangan mereka setelah menjadi korban perdagangan orang di Myanmar.

Hampir sembilan bulan lalu, pasangan suami istri ini berhasil melepaskan diri dari perusahaan yang mempekerjakan mereka di Myanmar sebagai operator penipuan daring dengan modus asmara.

Tetapi sejak saat itu pula, keduanya tertahan di tempat penampungan khusus di Chiang Rai, Thailand.

Baca juga: WNI Ceritakan Alasan Pindah Jadi Warga Negara Singapura

"Kami pernah nanya, 'Kami harus menunggu berapa tahun lagi untuk pulang? Satu atau dua tahun lagi?' Tapi selalu dijawab 'Oh nggak selama itu, paling satu bulan lagi'. Tapi ucapan itu diulang selama berbulan-bulan sampai kami sudah capek," kata David ketika dihubungi BBC News Indonesia pada Kamis (13/7/2023).

Yang membuat David merasa diperlakukan tidak adil adalah ketika dia mengetahui bahwa korban-korban tindak pidana perdagangan orang lainnya bisa dipulangkan ke Indonesia hanya dalam kurun dua minggu sejak dibebaskan.

Menurutnya, respons cepat itu muncul setelah kasus 20 korban WNI yang dipekerjakan di Myanmar viral di media sosial pada pertengahan April lalu.

Ke-20 WNI itu kemudian dibebaskan oleh pemerintah Indonesia dari wilayah konflik Myawaddy di Myanmar.

Kasus itu menjadi awal evakuasi dan penyelamatan WNI korban TPPO lainnya yang dia sebut berjalan cepat melalui Mekanisme Rujukan Nasional (NRM), yakni mekanisme koordinasi otoritas antar-negara untuk mengidentifikasi, merujuk, dan membantu korban perdagangan orang.

Di tempat berbeda pada Kamis, Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan Mahfud MD mengatakan bahwa ada 1.943 korban TPPO yang telah diselamatkan pemerintah dalam kurun 5 Juni-5 Juli 2023.

Tetapi respons cepat itu tak berlaku bagi David dan Joy.

Baca juga: Armitha Seha Safitri, WNI Asal Malang yang Kecelakaan di Australia, Meninggal Usai Kritis 5 Hari

“Rasanya nggak fair gitu lho. Kenapa yang lain bisa diberlakukan langkah itu, tapi kami tidak? Kami sudah cukup bersabar, sudah mau masuk sembilan bulan menunggu, sementara yang lain bisa pulang dalam waktu dua minggu,” kata David.

Ada satu alasan signifikan yang membuat David tak bisa pulang hingga saat ini, yang oleh KBRI Bangkok disebut sebagai "kasus berbeda". David masih berstatus sebagai buron oleh Kejaksaan Agung Thailand.

David awalnya bekerja di perusahaan di wilayah Tachileik, Myanmar. Namun karena ada cekcok antara bos, dia hendak dijual ke perusahaan lain di KK Park yang berlokasi di Naypyidaw Myanmar.

Untuk pindah, mereka harus melintasi perbatasan Thailand. Saat itulah mereka tertangkap oleh petugas imigrasi dan dipenjara selama 12 hari. Kasus penangkapan inilah yang masih mengganjal David dan Joy hingga kini.

Kisah lebih rincinya telah dimuat dalam laporan BBC News Indonesia sebelumnya.

Mereka telah berulang kali menanyakan kelanjutan proses pencabutan kasus ini kepada KBRI, namun David mengaku belum ada hasil.

“Prosesnya itu bertele-tele. Estimasi waktu enggak pernah dikasih. Selalu dijawabnya, ‘Kami tidak tahu, semua tergantung dari kebijakan pemerintah Thailand, kami tidak bisa ikut campur' dan bahwa itu di luar yuridiksi KBRI,” kata David.

“Mereka selalu bilang, 'yang sudah pulang itu berbeda dengan kasus kalian’. Kami selalu dibedakan karena ada kasus dengan keimigrasian dan polisi. Padahal kasus itu terjadi juga karena kami diculik ke situ, bukan kami yang mau. Kami sudah jadi korban kenapa prosesnya nggak bisa cepat?” sambungnya.

Bagi David, situasi ini melambangkan lambatnya otoritas di negara-negara ASEAN dalam menangani korban perdagangan orang.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com