Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Cerita Penderitaan Rohingya, Menahan Haus dan Lapar Berhari-hari di Laut

Kompas.com - 12/01/2023, 18:15 WIB
Aditya Jaya Iswara

Editor

“Jadi, saya memutuskan untuk membawa anak-anak saya ke Malaysia. Mereka akan mendapatkan pendidikan yang lebih baik di sana, dan tumbuh menjadi perempuan yang kuat,” kata Nesa.

“Saya tidak mampu bepergian dengan membawa dua putri saya kali ini, jadi saya hanya membawa Salima. Saya berharap Habiba akan bergabung dengan kami nanti, entah bagaimana caranya.”

Saat mesin perahu mogok setelah berlayar selama 10 hari, para penumpang dihinggapi rasa cemas. Penderitaan itu menjadi semakin buruk ketika 19 dari rombongan pengungsi melompat ke air setelah melihat perahu lain.

Mereka berharap mendapatkan bantuan. Ironisnya, tidak ada yang membantu mereka, dan akhirnya mereka tenggelam di laut karena tidak bisa berenang kembali ke perahu mereka sendiri.

Saudara laki-laki Nesa, Mohammed Rezuwan Khan, sesekali berbicara dengannya melalui telepon dari Bangladesh.

“Saya bilang ke adik saya dan penumpang lain untuk minta tolong dengan melambai-lambaikan tangan sambil memegang kain, setiap kali melihat perahu lain. Hati kami hancur ketika kami mendengar bahwa tidak ada yang menyelamatkan mereka,” kata Khan kepada VOA melalui telepon.

Saat Begum berdoa agar kapal putrinya terdampar di mana saja di muka Bumi ini selama dia bertahan hidup, asa Nesa dan rekan penumpangnya perlahan pupus.

“Teriakan dan lambaian tangan yang terus menerus, tanpa makanan atau air selama 13 hari, benar-benar menghabiskan energi kami. Dua puluh enam penumpang meninggal dunia,” kata Nesa.

“Pada satu titik, kami semua menyerah mencoba mendapatkan bantuan. Kami pergi ke kabin dan berbaring diam di sana. Tidak terucapkan, tapi mungkin semua orang sedang menunggu kematian di atas kapal. Saya tidak berhenti berdoa.”

Jawaban atas doa Begum datang dalam bentuk panggilan video dari Nesa pada 26 Desember. Nesa, putrinya, dan sekitar 172 orang lainnya baru saja diselamatkan oleh nelayan dan otoritas lokal di Aceh, menurut badan pengungsi PBB. Begum menangis lega.

“Keimanan saya kepada Allah semakin kuat setelah melewati cobaan ini,” kata Nesa. “Saya percaya saya akan segera mencapai Malaysia.”

Baca juga: Siapa Rohingya dan Sejarah di Myanmar

Akhir-akhir ini, Malaysia sangat ketat dalam memberlakukan peraturan terhadap pengungsi Rohingya. Negara itu tidak mengizinkan kapal pengungsi mendarat di pantainya. Jadi, kapal yang membawa Rohingya berputar haluan untuk mencapai Indonesia.

Dari Indonesia, dengan bantuan para oknum penyelundup manusia, menggunakan jalur rahasia, para pengungsi itu menyelinap masuk ke Malaysia. Selama beberapa bulan, mereka mengikuti strategi ini untuk bisa masuk ke Negeri Jiran tersebut.

Indonesia bukanlah tujuan akhir para pengungsi. Namun karena letak Malaysia sangat dekat dengan Indonesia, seperti semua pengungsi lainnya, Nesa merasa sudah hampir mencapai Malaysia.

Di Bangladesh, keluarga Nesa takut mengirim Habiba melalui perjalanan via laut yang ilegal dan berbahaya seperti yang dilakukan ibunya.

 
 
 
View this post on Instagram
 
 
 

A post shared by VOA Indonesia (@voaindonesia)

Saudara laki-laki Nesa menceritakan panggilan telepon yang dia lakukan baru-baru ini kepadanya dari Indonesia.

Dengan bersemangat, Nesa berkata, “Bicaralah dengan orang-orang dari Bangladesh. Saya berbicara dengan mereka dari Indonesia, dengan satu pertanyaan: bagaimana keluarga kami bisa bersatu kembali?

“Putri saya baru berusia 7 tahun. Dia tidak dapat melakukan perjalanan laut ilegal yang penuh dengan bahaya ini. Saya memohon kepada masyarakat internasional untuk mengatur agar Habiba dapat secara legal melakukan perjalanan ke Malaysia dari Bangladesh dan bersatu kembali dengan Salima dan saya. Ini harapan seorang ibu,” kata Nesa.

Baca juga: “Shuttle Diplomacy” Menlu Retno: Antara Isu Kudeta Militer dan Krisis Kemanusiaan Rohingya

Artikel ini pernah dimuat di VOA Indonesia dengan judul Derita Perempuan dan Anak-anak Rohingya: Kehausan, Kelaparan Berhari-hari di Lautan Demi Hidup Normal.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com