Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
A Kurniawan Ulung
Dosen

Dosen program studi Hubungan Internasional di Universitas Satya Negara Indonesia

“Shuttle Diplomacy” Menlu Retno: Antara Isu Kudeta Militer dan Krisis Kemanusiaan Rohingya

Kompas.com - 04/03/2021, 14:32 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

KETIKA menjadi Penasihat Negara Myanmar, Aung San Suu Kyi, pemimpin partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD), mengabaikan desakan komunitas internasional yang memintanya untuk membela etnis minoritas Muslim Rohingya di Myanmar.

Pada masa pemerintahan sipil NLD, Suu Kyi tidak saja memalingkan wajah dari penderitaan warga Rohingya yang menjadi korban kekerasan militer Myanmar, tetapi juga membela militer di Mahkamah Internasional pada 2019 atas kasus pembunuhan dan pemerkosaan terhadap warga Rohingya.

Setelah mengabaikan komunitas internasional, pemerintah sipil Myanmar kini meminta bantuan dan dukungan mereka dalam menghadapi junta militer yang saat ini menahan Suu Kyi dan sekutunya di NLD, Presiden Win Myint.

Baca juga: Protes Kudeta Militer di Myanmar Makin Besar, Ingatkan Peristiwa 1998 di Indonesia

Pada sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 26 Februari 2021, Kyaw Moe Tun, Duta Besar Myanmar untuk PBB, meminta negara anggota untuk mendukung pemerintahan sipil pimpinan Suu Kyi dengan ikut mengecam kudeta yang dilakukan junta militer pada 1 Februari, menolak mengakui rezim militer, dan mengharapkan pemimpin dunia untuk menghormati hasil pemilu yang dimenangkan oleh NLD.

Pemerintah Indonesia sebaiknya tidak terburu-buru dalam memberikan dukungan kepada pemerintahan sipil pimpinan Suu Kyi sebelum ia bisa menjamin keamanan dan perlindungan hak asasi manusia bagi kelompok etnis Rohingya.

Kolase foto suster Ann Nu Thawng di Myanmar yang memohon agar polisi berhenti menangkapi demonstran.TWITTER @CardinalMaungBo Kolase foto suster Ann Nu Thawng di Myanmar yang memohon agar polisi berhenti menangkapi demonstran.

Kudeta militer

Penolakan warga Myanmar terhadap pemerintahan junta militer dan protes terhadap kudeta yang dilakukannya tidak hanya menyebabkan bentrok antara demonstran dan aparat, namun juga mendorong junta melakukan penangkapan, memutus internet, dan menambah jumlah pasukan dan kendaraan lapis baja di jalan-jalan.

Junta militer melakukan kudeta karena menilai pemerintah sipil gagal menyelenggarakan pemilu yang bersih pada November 2020.

Baca juga: Diblokir Facebook dan Instagram, Militer Myanmar Sampaikan Ancaman Kematian di TikTok

Pada November lalu, NLD, partai berkuasa yang dipimpin Suu Kyi, mengklaim menang. NLD yakin telah mendapatkan jumlah suara yang cukup untuk menguasai parlemen dan membentuk pemerintahan, walaupun Komite Pemilu Myanmar belum mengumumkan hasil penghitungan suara resmi.

Menurut Jenderal Min Aung Hlaing, pemimpin kudeta Myanmar, banyak kecurangan terjadi dalam pemilu November lalu dan ia menilai pemerintah Myanmar gagal menyelidiki kecurangan-kecurangan tersebut.

Namun, Hlaing menolak menyerahkan sengketa pemilu tersebut kepada Komisi Pemilihan yang secara konstitusional berwenang menyelesaikannya.

Seorang pengunjuk rasa menggunakan alat pemadam kebakaran saat pasukan keamanan menindak demonstrasi menentang kudeta militer di Yangon, Myanmar, Minggu (28/2/2021). Sedikitnya 18 orang tewas dan 30 lainnya terluka dalam aksi demonstrasi di Myanmar pada 28 Februari, serta disebut sebagai hari paling berdarah dalam serentetan aksi protes menentang kudeta militer.AFP/SAI AUNG MAIN Seorang pengunjuk rasa menggunakan alat pemadam kebakaran saat pasukan keamanan menindak demonstrasi menentang kudeta militer di Yangon, Myanmar, Minggu (28/2/2021). Sedikitnya 18 orang tewas dan 30 lainnya terluka dalam aksi demonstrasi di Myanmar pada 28 Februari, serta disebut sebagai hari paling berdarah dalam serentetan aksi protes menentang kudeta militer.

Baca juga: 38 Orang Tewas dalam Demo Myanmar: Ini Mengerikan, Ini Pembantaian

Junta militer ingin menyelenggarakan pemilu ulang dan akan menyerahkan kekuasaan yang kini mereka pegang kepada partai pemenang pemilu.

Akan tetapi, dalam berbagai unjuk rasa, warga Myanmar menolak rencana pemilu ulang dan mendesak junta militer untuk membebaskan Suu Kyi dan anggota kabinet pemerintahan sipil.

Shuttle Diplomacy Menteri Retno

Kebijakan Indonesia untuk ikut berupaya mencari penyelesaian atas krisis di Myanmar merupakan keputusan yang tepat. Ini membuktikan, Indonesia mempraktikkan prinsip politik luar negeri bebas aktif dengan ikut menciptakan perdamaian dunia sesuai dengan amanah UUD 1945.

Sejatinya, shuttle diplomacy yang saat ini sedang dilakukan Menteri Luar Negeri Retno Marsudi untuk mencari solusi atas krisis politik di Myanmar bukan sesuatu yang baru.

Baca juga: Bertemu Menlu Myanmar, Menlu Retno Sampaikan Hal Ini...

Menlu Retno pernah melakukan shuttle diplomacy untuk mencari penyelesaian atas krisis kemanusiaan Rohingya di Negara Bagian Rakhine pada September 2017. Ia terbang dari Jakarta, lalu berhenti di Singapura, Myanmar, Thailand, dan Banglades, dan kemudian kembali ke Jakarta.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Lengkapi Profil
Lengkapi Profil

Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com