KETIKA menjadi Penasihat Negara Myanmar, Aung San Suu Kyi, pemimpin partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD), mengabaikan desakan komunitas internasional yang memintanya untuk membela etnis minoritas Muslim Rohingya di Myanmar.
Pada masa pemerintahan sipil NLD, Suu Kyi tidak saja memalingkan wajah dari penderitaan warga Rohingya yang menjadi korban kekerasan militer Myanmar, tetapi juga membela militer di Mahkamah Internasional pada 2019 atas kasus pembunuhan dan pemerkosaan terhadap warga Rohingya.
Setelah mengabaikan komunitas internasional, pemerintah sipil Myanmar kini meminta bantuan dan dukungan mereka dalam menghadapi junta militer yang saat ini menahan Suu Kyi dan sekutunya di NLD, Presiden Win Myint.
Baca juga: Protes Kudeta Militer di Myanmar Makin Besar, Ingatkan Peristiwa 1998 di Indonesia
Pada sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 26 Februari 2021, Kyaw Moe Tun, Duta Besar Myanmar untuk PBB, meminta negara anggota untuk mendukung pemerintahan sipil pimpinan Suu Kyi dengan ikut mengecam kudeta yang dilakukan junta militer pada 1 Februari, menolak mengakui rezim militer, dan mengharapkan pemimpin dunia untuk menghormati hasil pemilu yang dimenangkan oleh NLD.
Pemerintah Indonesia sebaiknya tidak terburu-buru dalam memberikan dukungan kepada pemerintahan sipil pimpinan Suu Kyi sebelum ia bisa menjamin keamanan dan perlindungan hak asasi manusia bagi kelompok etnis Rohingya.
Penolakan warga Myanmar terhadap pemerintahan junta militer dan protes terhadap kudeta yang dilakukannya tidak hanya menyebabkan bentrok antara demonstran dan aparat, namun juga mendorong junta melakukan penangkapan, memutus internet, dan menambah jumlah pasukan dan kendaraan lapis baja di jalan-jalan.
Junta militer melakukan kudeta karena menilai pemerintah sipil gagal menyelenggarakan pemilu yang bersih pada November 2020.
Baca juga: Diblokir Facebook dan Instagram, Militer Myanmar Sampaikan Ancaman Kematian di TikTok
Pada November lalu, NLD, partai berkuasa yang dipimpin Suu Kyi, mengklaim menang. NLD yakin telah mendapatkan jumlah suara yang cukup untuk menguasai parlemen dan membentuk pemerintahan, walaupun Komite Pemilu Myanmar belum mengumumkan hasil penghitungan suara resmi.
Menurut Jenderal Min Aung Hlaing, pemimpin kudeta Myanmar, banyak kecurangan terjadi dalam pemilu November lalu dan ia menilai pemerintah Myanmar gagal menyelidiki kecurangan-kecurangan tersebut.
Namun, Hlaing menolak menyerahkan sengketa pemilu tersebut kepada Komisi Pemilihan yang secara konstitusional berwenang menyelesaikannya.
Baca juga: 38 Orang Tewas dalam Demo Myanmar: Ini Mengerikan, Ini Pembantaian
Junta militer ingin menyelenggarakan pemilu ulang dan akan menyerahkan kekuasaan yang kini mereka pegang kepada partai pemenang pemilu.
Akan tetapi, dalam berbagai unjuk rasa, warga Myanmar menolak rencana pemilu ulang dan mendesak junta militer untuk membebaskan Suu Kyi dan anggota kabinet pemerintahan sipil.
Kebijakan Indonesia untuk ikut berupaya mencari penyelesaian atas krisis di Myanmar merupakan keputusan yang tepat. Ini membuktikan, Indonesia mempraktikkan prinsip politik luar negeri bebas aktif dengan ikut menciptakan perdamaian dunia sesuai dengan amanah UUD 1945.
Sejatinya, shuttle diplomacy yang saat ini sedang dilakukan Menteri Luar Negeri Retno Marsudi untuk mencari solusi atas krisis politik di Myanmar bukan sesuatu yang baru.
Baca juga: Bertemu Menlu Myanmar, Menlu Retno Sampaikan Hal Ini...
Menlu Retno pernah melakukan shuttle diplomacy untuk mencari penyelesaian atas krisis kemanusiaan Rohingya di Negara Bagian Rakhine pada September 2017. Ia terbang dari Jakarta, lalu berhenti di Singapura, Myanmar, Thailand, dan Banglades, dan kemudian kembali ke Jakarta.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.