Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Belanda Minta Maaf atas Perbudakan di Masa Kolonial, Hampir Setengah Penduduk Tak Dukung

Kompas.com - 20/12/2022, 13:59 WIB
BBC News Indonesia,
Irawan Sapto Adhi

Tim Redaksi

Dia meyakini bahwa persepsi publik mengenai warisan perbudakan Belanda telah bergeser dalam satu dekade terakhir, yang tampak dari pengakuan bahwa kolonialisme dan perbudakan menjadi pilar Belanda sebagai negara dagang terkemuka di dunia.

Meningkatnya sorotan di media dan di dunia pendidikan pun menunjukkan bahwa pendekatan terkait topik ini sudah sangat berbeda.

Kesadaran soal ini telah memantik pertanyaan mendasar soal distribusi kekayaan Belanda dan prevalensi prasangka era kolonial saat ini.

Baca juga: Belanda Panggil Dubes Rusia atas Tanggapan soal Keputusan MH17

BBC menemui Quinsy Gario, seorang penyair dan aktivis kesetaraan hak, di sebuah taman yang diselimuti salju di timur Amsterdam untuk membahas soal permintaan maaf ini.

"Kebanyakan orang memahami Zaman Keemasan adalah istilah yang salah, jadi persoalan sebenarnya bukan pada terminologi lagi. Ketika kita menyadari Zaman Keemasan itu tidak lagi emas, apa artinya memperbaiki kerugiannya serta sistem yang dibangun pada saat itu?” ucap dia.

Dan itu, kata Gario, harus menjadi titik awal untuk permintaan maaf.

Prasangka masa kini

Permintaan maaf itu muncul seminggu setelah sebuah laporan mengungkap bahwa orang-orang di dalam Kementerian Luar Negeri Belanda mendapatkan komentar rasis.

Beberapa di antaranya bahkan dilangkahi untuk promosi karena warna kulit atau etnis mereka.

Masih di departemen yang sama, negara-negara Afrika disebut sebagai “negara monyet” di dalam komunikasi internal mereka.

Menteri Luar Negeri Belanda Wopke Hoekstra meminta maaf setelah itu, dan mengakui bahwa laporan tersebut dapat merusak reputasi Belanda di luar negeri.

Belanda pun telah dituduh melanggengkan dan melembagakan rasisme.

Pada 2020, pelapor PBB soal rasisme, Tendayi Achiume, menemukan bahwa citra diri mengenai “toleransi” telah menghalangi penanganan diskriminasi dan rasisme sistemik di dalam kelembagaan Belanda.

“Imigran diperlakukan sebagai warga negara kelas dua sejak awal. Itu kemudian diterjemahkan berupa posisi awal yang tidak setara. Kemudian rasisme sebagai pembenaran atas perbudakan, yang terlihat hari ini,” sebut dia.

Baca juga: KBRI Athena Pastikan Korban Tewas dalam Kecelakaan Pesawat di Yunani adalah WNI, Ini Kronologinya

Sementara itu, Quinsy Gario menginisiasi gerakan “Pete Hitam adalah rasisme”, yang merujuk pada tradisi tahunan Sinterklaas beberapa tahun lalu, di mana orang kulit putih "dihitamkan" untuk mewakili karakter fiksi Zwarte Piet atau Black Pete.

Dia juga meyakini perlakuan seperti itu masih ada di kalangan pemerintahan Belanda.

Salah satunya terlihat dari skandal tunjangan pengasuhan anak di Belanda, ketika kantor pajak secara agresif menagih keluarga imigran yang tidak memiliki uang.

Begitu pula perwakilan korps diplomatik Belanda yang dia gambarkan sebagai "orang-orang pirang bermata biru.

Pengakuan dan pemulihan?

Bersamaan dengan permintaan maaf resmi, pemerintah Belanda telah berjanji untuk mengalokasikan 200 juta euro (Rp3,3 triliun) untuk membangun kesadaran soal ini, serta mengalokasikan 27 juta euro (Rp446,1 miliar) untuk museum perbudakan.

Sekitar 70 persen masyarakat Afrika-Karibia di Belanda, yang sebagian besar merupakan keturunan budak, meyakini bahwa permintaan maaf itu penting.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com