Secara substantif dalam kaitan konflik dengan Ukraina, Putin sebenarnya tidak sendiri. China masih bersama Rusia, sekalipun China tidak memperlihatkan dukungan secara terbuka atas invasi Rusia ke Ukraina.
Di permukaan, China mendukung diplomasi damai antara kedua negara. Namun, China jelas sekali menentang suplai senjata dari dunia Barat ke Ukraina, yang berpotensi memperpanjang rentang waktu peperangan.
Tendensi tersebut dengan jelas bisa dibaca dari pernyataan Menteri Pertahanan (Menhan) China baru-baru ini di Singapura.
Menhan China Wei Fenghe menyatakan dukungannya untuk negosiasi perdamaian agar perang Rusia dan Ukraina segera berakhir.
Dikutip dari Al Jazeera, Minggu (12/6/2022), mewakili pemerintah Beijing, dia mengungkapkan kesedihannya atas peristiwa yang menimpa masyarakat Ukraina.
Sehingga dia mendukung penuh segera dilakukannya pembicaraan kesepakatan damai antara Moskow dan Kiev.
Namun di samping itu, dia juga mengatakan dengan tegas bahwa China menentang bantuan penyediaan senjata dari Barat ke Ukraina serta dijatuhkannya sanksi terhadap Rusia.
“Apa akar penyebab krisis ini? Siapa dalang di balik ini? Siapa yang paling rugi dan siapa yang paling banyak mendapatkan keuntungan? Siapa yang mempromosikan perdamaian dan siapa yang menambahkan bahan bakar ke api sehingga krisis berkelanjutan? Saya pikir kita semua tahu jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini,” kata Fenghe dalam dialog di Hotel Shangri-La, Singapura seperti dilansir dari Al Jazeera.
Dari pernyataan Menteri Pertahanan China itu jelas terasa bahwa China menuntut dunia Barat untuk melakukan introspeksi.
Pihak yang dianggap sebagai penyebab perang, sebagaimana dipertanyakan Wei Fenghe, tak lain tak bukan adalah dunia Barat sendiri.
Secara teknis, tentu Uni Eropa (EU) dan Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) yang sangat berambisi melakukan pelebaran sayap ke negara-negara bekas Uni Soviet yang menjadi "backyard"(halaman belakang) Rusia.
Jadi, meskipun mendukung ditempuhnya pembicaraan damai antara Rusia dan Ukraina, China secara substansial memosisikan dirinya sebagai pihak yang tidak sepakat dengan "kelakuan" dunia Barat atas Rusia selama ini, terutama strategi "containment" dan "encircling" Rusia yang diterapkan NATO dan EU.
Sikap China yang terkesan mendua tentu sangat bisa dipahami. China memang sudah tak bisa lagi dilepaskan dari tatanan ekonomi global yang telah dibangun oleh dunia Barat.
Pembesaran ekonomi negeri Panda sejak 1978 memang karena keputusan China untuk terlibat di dalam Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), yang membuat China menjadi negara eksportir terbesar di dunia di satu sisi dan negara penerima investasi asing kelas wahid di Asia di sisi lain.
China tentu tak mau kehilangan manfaat dan peran tersebut. Tapi secara geopolitik, China tetaplah bukan bagian dari Barat, bukan bagian dari kongsi demokrasi yang dipimpin oleh Amerika Serikat dan Uni Eropa.