Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Tak Digaji Tiga Bulan, Asisten Profesor Afghanistan Terpaksa Jadi Buruh Bangunan

Kompas.com - 02/11/2021, 21:21 WIB
Bernadette Aderi Puspaningrum

Penulis

Sumber Reuters

KABUL, KOMPAS.com - Tanpa dibayar selama berbulan-bulan dan dengan banyak mulut untuk diberi makan, asisten profesor Afghanistan Khalilullah Tawhidyar baru-baru ini menemukan pekerjaan sementara di sebuah lokasi pembangunan.

Dengan 300 afghani (3,30 dollar AS) atau kurang dari Rp 50.000, yang diperolehnya hari itu, dia membeli perbekalan untuk keluarganya.

Baca juga: Bayi Afghanistan yang Selamat dari Bom Bunuh Diri Kabul Akhirnya Bersatu dengan Ibunya di Inggris

Tawhidyar adalah mantan anggota satuan tugas pemerintah Afghanistan untuk reformasi pendidikan. Dia sebelumnya mengajar bahasa Inggris di Universitas Parwan di utara Kabul.

Namun kini dia, menjadi satu dari ribuan kelas menengah, warga Afghanistan berpendidikan yang memerangi kemiskinan saat ekonomi negara itu goyah.

"Saya tidak punya pilihan," kata Tawhidyar kepada Reuters, seraya menambahkan bahwa dia belum menerima gajinya selama tiga bulan.

"Ini adalah kisah banyak orang terpelajar di sini sekarang."

Sudah berjuang melawan kekeringan parah dan pandemi virus corona, krisis keuangan Afghanistan memburuk sejak kembalinya Taliban ke tampuk kekuasaan pada pertengahan Agustus.

Miliaran dollar bantuan internasional mengering, ketika komunitas internasional mencari cara untuk berinteraksi dengan kelompok militan garis keras. Miliaran dollar lainnya dalam cadangan mata uang asing dikurung di brankas di Barat.

Baca juga: Taliban: Akan Ada Dampak Global jika Pemerintahan di Afghanistan Tidak Diakui Segera

"Anda melihat dokter, guru, hakim dipaksa bekerja sebagai penjaga toko, sopir taksi, atau buruh," kata Victor Moses, direktur negara Afghanistan untuk kelompok nirlaba CARE.

Sebuah laporan oleh kelompok itu bulan lalu mengatakan hampir setengah dari populasi Afghanistan, sekitar 19 juta orang, menghadapi kelaparan akut.

Sebuah laporan PBB baru-baru ini mengatakan sebanyak 97 persen dari populasi bisa tenggelam di bawah garis kemiskinan pada pertengahan 2022.

Selama akhir pekan, Taliban memperbarui seruannya bahwa pemerintahan mereka harus diakui.

Mereka mengatakan kegagalan melakukannya dan pembekuan terus dana Afghanistan di luar negeri akan menimbulkan masalah tidak hanya bagi negara tetapi bagi dunia.

Berjuang untuk makan

Tawhidyar, yang memiliki gelar master dari India dan telah mengikuti kursus di Malaysia dan Sri Lanka, mengatakan dia mengambil pekerja kasar setelah dia kehabisan uang dan makanan.

Meskipun terkadang dia masuk ke universitas negeri tempat dia bekerja, kelas belum dilanjutkan karena kekurangan dana.

Baca juga: Kelompok Bersenjata Bunuh 3 Orang di Pernikahan Afghanistan untuk Hentikan Musik

Seperti banyak rumah tangga Afghanistan, Tawhidyar tinggal bersama keluarga besarnya, dan 17 orang bergantung pada gajinya.

"Saya menghasilkan cukup uang untuk memenuhi kebutuhan saya," kata pria berusia 36 tahun itu.

Ketika gaji berhenti, dia meminjam dari teman dan kerabat, tetapi itu habis beberapa minggu yang lalu.

Pada saat itu, istrinya yang sedang hamil besar telah melewatkan dua janji dengan dokter.

"Situasinya sampai kami tidak punya roti ... kami hanya menanak nasi dan kemudian nasi juga habis," katanya.

Syed Bashir Aalemy, kepala departemen bahasa Inggris di universitas Tawhidyar, mengatakan dia telah bekerja sebagai sopir taksi selama beberapa minggu terakhir.

"Tidak ada cara lain," kata Aalemy. Dengan kenaikan harga bahan bakar, pekerjaan itu mungkin mengering, tambahnya.

Munculnya kelas menengah terpelajar, yang bekerja di bidang pendidikan dan pemerintahan atau untuk kelompok bantuan, bank dan perusahaan media dan telekomunikasi, mungkin jadi salah satu produk yang paling terlihat dari 20 tahun keterlibatan Barat di Afghanistan.

Baca juga: Taliban Kirim Pejabatnya Bertugas ke Kedutaan Besar Afghanistan di Pakistan

Ribuan dari orang-orang itu melarikan diri dalam evakuasi kacau, menyusul kemenangan mengejutkan Taliban pada Agustus. Mereka takut kembali ke pemerintahan Taliban yang keras dan kebebasan yang terbatas.

Bagi mereka yang tetap tinggal, kesulitan keuangan sekarang adalah hal biasa, bahkan untuk kelas menengah.

Abdul, seorang mantan polisi berusia 41 tahun di Kabul dan ayah dari empat anak, mengaku baru saja menjual sebidang tanah terakhir yang dia warisi dari ayahnya, untuk membeli taksi.

Sekitar 300-500 afghani (antara Rp 50.000 hingga Rp100.000) yang dia peroleh setiap hari, hampir tidak cukup untuk menyediakan makanan sehari-hari bagi enam keluarganya, tambah Abdul, yang menolak memberikan nama belakangnya karena alasan keamanan.

Tumpukan utang

Tawhidyar mengatakan seorang teman memotretnya saat membawa karung bahan bangunan di lokasi konstruksi.

Malam itu di pertengahan Oktober, Tawhidyar mengunggah pesan emosional di Facebook yang menampilkan gambar tersebut.

"Saya memikirkan tentang kemana yang telah saya capai selama hidup saya."

Baca juga: Taliban Kirim Pejabatnya Bertugas ke Kedutaan Besar Afghanistan di Pakistan

Unggahan itu dengan cepat menjadi viral dengan ribuan kali dibagikan di media sosial. Beberapa temannya mengulurkan tangan untuk menyatakan simpati, dan menawarkan bantuan keuangan.

Dia meminjam sekitar 300 dollar AS (Rp 4,2 juta) dari teman dekat yang bersikeras dia mengambil uang itu, katanya.

"Tapi berapa lama saya akan meminjam? Saya sudah memiliki utang ribuan dollar."

Khawatir akan serangan balasan, dan peringatan dari warga Afghanistan yang mendukung kembalinya Taliban ke tampuk kekuasaan, dia mengatakan sejak itu dia telah menghapus unggahan tersebut dan menonaktifkan akun Facebook-nya.

Jika gaji universitas tidak kunjung datang, katanya, dia harus kembali ke kerja kasar.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com