Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kisah Seniman dari Pengungsi Afghanistan yang Terjebak di Indonesia

Kompas.com - 10/09/2021, 06:49 WIB
Shintaloka Pradita Sicca

Editor

Sumber ABC

Namun karena tiba di Indonesia pada Agustus 2014, dia tidak memenuhi syarat masuk ke Australia.

"Banyak pengungsi di Indonesia mungkin tidak akan pernah bisa ikut program pemukiman kembali," demikian pernyataan UNHCR.

Pihak Departemen Dalam Negeri saat ditanya soal perkembangan terakhir, menyatakan, "Kebijakan pemerintah Australia dalam memerangi penyelundupan manusia tetap tidak berubah."

"Kami akan terus mendeteksi dan mencegat siapa pun yang mencoba melakukan perjalanan ke Australia secara ilegal," katanya.

Baca juga: Seorang Ayah di Afghanistan Terpaksa Menjual Anaknya untuk Bisa Beri Makan Keluarga

Taliban membidik seniman

Seniman lainnya, Farahnaz Salehi, tiba di Indonesia sebagai pengungsi Afghanistan pada usia 14 tahun dan memilih lukisan sebagai cara mengekspresikan diri.

"Saya kira penderitaan yang menginspirasi saya. Juga kesedihan," ujar Farahnaz.

Terletak di antara Eropa dan Asia, Afghanistan selama berabad-abad merupakan tempat perkembangan seni dan puisi.

Dulunya Afghanistan memiliki patung Budha Bamiyan, situs warisan dunia dan sumber kebanggaan nasional yang dibangun pada abad keenam dan ketujuh.

Namun di bawah pemerintahan Taliban pada 1990-an, seni dilarang dan seniman dianiaya.

Taliban menghancurkan patung itu pada 2001, sebuah peristiwa yang bagi banyak orang Afghanistan melambangkan fanatisme dan kebiadaban.

Sejak menguasai Kabul kembali pada 14 Agustus, Taliban mulai menghapus mural di tembok-tembok kota itu, yang menggambarkan perempuan atau pahlawan nasional, dan menggantinya dengan propaganda.

Mereka memerintahkan stasiun radio untuk berhenti memutar musik dan menutup Institut Musik Nasional Afghanistan.

Warga setempat mengaku telah menghancurkan karya seni dan alat musik mereka karena takut diserbu aparat Taliban.

"Mereka menentang seni, menentang hak-hak perempuan, dan menentang segala budaya yang membuat negara kami menjadi indah," ujar Farahnaz, guru seni sekolah untuk pengungsi di pinggiran Jakarta.

"Tidak masalah jika kita berada di dalam atau di luar Afghanistan. Kita tetap punya kaitan dan punya rasa takut," ujarnya.

Pelukis dan fotografer, Ali Froghi, menggunakan dapur umum di fasilitas perumahan pengungsi sebagai studio bila ruangan itu sudah sepi.

Seperti Hanif dan Faraznas, Ali adalah pengungsi Afghanistan dari suku Hazara yang terjebak di Indonesia selama hampir satu dekade.

"Hanya satu hal yang ada di pikiranku, yaitu bagaimana saya bisa menyelamatkan hidupku," jelasnya saat ditanya mengapa melarikan diri.

Dia mencari tempat di mana dia bisa merasa tak takut akan dibunuh atau dianiaya karena faktor etnis atau kepercayaannya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com