Pernyataan ini muncul tiga bulan sejak junta militer melakukan kudeta, dan menyebabkan negara itu berada dalam krisis.
Junta mengeklaim mereka mengudeta karena adanya pelanggaran berat dalam pemilihan, namun tidak menyertakan bukti apa pun.
The Asian Network for Free Elections menekankan, hasil dari pemilu mencerminkan suara mayoritas rakyat Myanmar.
Pemilihan pada November 2020 itu dimenangkan Liga Nasional untuk Demokrasi (LND), yang dipimpin Aung San Suu Kyi.
Suu Kyi dan sejumlah petinggi LND ditahan dalam kudeta 1 Februari, dan sejak saat itu hanya dihadirkan lewat video.
Para pengamat pemilu menyatakan, klaim junta militer untuk mengabaikan hasil pemilihan harusnya sudah tidak bisa lagi dipertahankan.
Tatmadaw, nama resmi junta, belum merespons laporan pengamat, dan menjanjikan pemilu baru dalam dua tahun ke depan.
Dilansir BBC Senin (17/5/2021), The Asian Network for Free Elections sudah mengamati 400 pos pemungutan suara di Burma (nama lama Myanmar).
Mereka mengakui terdapat kejanggalan selama pemungutan, namun mereka menyebut fenomena itu disebabkan Covid-19 dan konflik yang terjadi.
Mereka menuturkan keganjilan tersebut menunjukkan, pemilu 2020 tidak sebebas dan seadil edisi 2015.
Meski begitu dalam laporannya, hasil tersebut menunjukkan suara rakyat dan memperlihatkan demokrasi di sana makin berkembang.
"Di tengah terjangan virus corona, 27,5 juta orang datang memilih berkat kerja keras staf pemilu hingga tenaga kesehatan. Suara mereka tak boleh dibungkam," ulas laporan itu.
https://www.kompas.com/global/read/2021/05/18/073831570/pengamat-nilai-tidak-ada-pelanggaran-dalam-pemilu-myanmar-2020