Calon presiden (capres) Partai Demokrat Joe Biden saat ini menurut jajak pendapat memimpin atas lawannya capres Partai Republik Donald Trump. Empat tahun yang lalu capres Demokrat Hillary Clinton juga unggul di survei atas Trump.
Tentunya kita semua tahu siapa yang memenangkan pilpres 2016. Tidak sedikit yang percaya underdog Trump dapat mengulangi kemenangan mengejutkannya itu.
Selain itu muncul juga keraguan akan akurasi survei. Apakah memang angka-angka survei yang menunjukan keunggulan Biden dapat dipercaya.
Analisa Kompas.com menunjukan walau sama-sama memimpin atas Trump, keunggulan Biden dan Clinton sangat berbeda jika dikaji lebih dalam.
Biden konsisten di atas 50 persen
Perbedaan paling krusial antara keunggulan Biden dan Clinton adalah angka yang mereka raih di survei nasional dan survei swing states.
Biden konsisten perkasa memimpin dengan raihan 50 persen atau lebih. Rataan agregasi survei nasional oleh FiveThirtyEight menunjukan mantan Wakil Presiden Barack Obama itu selalu berada di zona 50 persen, sejak menjadi calon unggulan Demokrat pada Maret 2020.
Politisi kawakan berusia 77 tahun itu juga tak tergoyahkan mendekati atau berada di zona 50 persen di swing states krusial, terutama di negara bagian Rust Belt yaitu Pennsylvania, Wisconsin, dan Michigan.
Hal ini sangat berbeda dengan Clinton. Mantan Menteri Luar Negeri AS itu tidak pernah menyentuh angka 50 persen.
Angka tertinggi Clinton pada survei nasional menurut akumulasi data FiveThirtyEight adalah sekitar 46 persen. Hasil suara nasional atau popular vote istri mantan presiden Bill Clinton itu tidak berbeda jauh yaitu 48,2 persen.
Biden saat ini memimpin dengan rataan 52 persen dan unggul 9,1 poin menurut data terakhir Five Thirty Eight, Minggu malam (26/10/2020) waktu setempat. Clinton seminggu sebelum pemilu hanya memimpin dengan rataan keunggulan 3 poin.
Angka 50 atau lebih persen kerap disebut magic number karena mengacu kepada angka yang dijadikan acuan untuk meraih kemenangan pada pemilu. Angka ini juga identik dengan mayoritas suara.
Biden saat ini berada pada zona aman untuk mengunci kemenangan. Di survei, mayoritas rakyat "Negeri Paman Sam” menjatuhkan pilihan kepada politisi senior dari Delaware itu.
Undecided voters yang lebih rendah
Tren peta politik yang paling jelas dari pilpres 2020 adalah stabilnya angka survei. Tidak pernah sekalipun Trump mengungguli Biden di survei nasional. Hal lain yang tidak kalah penting adalah jumlah undecided voters yang konsisten rendah.
Undecided voters adalah pemilih yang belum menentukan capres pilihannya.
Saat ini jumlah undecided voters tinggal sekitar 5 persen. Bahkan jika Trump menyapu seluruh undecided voters, jumlahnya tidak akan cukup untuk mengalahkan Biden.
Cerita berbeda terjadi pada pilpres 2016. Ketika itu menjelang hari-H masih ada 10-15 persen pemilih yang belum memutuskan siapa yang akan dipilih. Mayoritas besar undecided voters ini akhirnya memilih Trump yang memberikannya kemenangan krusial di swing states Rust Belt.
Ketidakpastian pada pilpres 2016 juga jauh lebih tinggi dari pilpres 2020, karena suara signifikan yang diraih calon dari partai kecil khususnya Gary Johnson dari Partai Libertarian.
Mantan Gubernur New Mexico itu meraih dukungan survei sekitar 5 persen, angka yang sangat tinggi untuk capres non-Republik dan Demokrat.
Pada pilpres kali ini calon partai kecil yaitu Jo Jorgensen dari Partai Libertarian dan Howie Hawkins dari Partai Hijau tidak menarik perhatian pemilih. Mereka hanya mendapat dukungan paling tinggi sekitar 1 persen.
Biden jauh lebih disukai dari Hillary Clinton
Walau kampanyenya diprediksi berkali-kali akan kolaps, Biden berhasil memutarbalikan prediksi pengamat. Sepanjang tahun 2020, dukungan kepadanya stabil.
Faktor utama yang membuat pemilih nyaman dengan Biden adalah sosoknya yang positif di mata pemilih.
Tingkat kesukaan terhadap Biden menurut rataan terbaru Real Clear Politics adalah 49,7 persen. Ini memberikannya angka positif 5,2 persen berbanding dengan 44,5 persen yang tidak menyukainya.
Sosok Biden sebagai negarawan senior konsisten disukai dan semakin meningkat sejak kampanye resmi dimulai September lalu.
Sebaliknya Hillary Clinton adalah sosok yang sudah lama dikenal sangat membelah publik AS. Skandal demi skandal yang menerpa 40 tahun karier politiknya membuat politisi berusia 73 tahun ini tidak populer di mata publik.
Kasus surel pribadinya yang mendominasi kampanye pilpres 2016 memberikan impresi mantan ibu negara AS ini adalah politisi yang korup dan tidak transparan.
Mayoritas pemilih yaitu 54,4 persen menyatakan tidak suka terhadap Clinton. Hanya 41,8 persen yang menyukainya. Ini berarti Clinton memiliki angka negatif 12,6 persen untuk tingkat kesukaannya.
Trump berjaya membuyarkan mimpi Clinton menjadi presiden wanita pertama AS, karena taktik kampanyenya yang sukses besar terus menggaungkan Clinton sebagai wanita korup yang tidak dapat dipercaya.
Kali ini Trump sudah menjadi bagian dari sistem, sama seperti Biden. Janjinya tidak pernah terpenuhi dan pemerintahannya terus bergelut dari satu skandal ke skandal lain.
Trump adalah petahana yang sangat tidak populer. Hanya 42,3 persen yang menyukainya, angka yang tidak jauh berbeda dengan dukungan suara yang diraihnya di survei nasional.
Taipan real estate itu mencoba menggunakan taktik sama dengan menggambarkan Biden sebagai sosok korup, dengan mengaitkannya ke posisi director putranya, Hunter Biden, di perusahaan energi Ukraina Burisma.
Namun sejauh ini strategi itu tidak berhasil. Biden malahan semakin disukai. Pemilih melihatnya sebagai capres tenang dan matang yang dapat dipercaya membawa AS melewati badai ekonomi dan pandemi Covid-19.
https://www.kompas.com/global/read/2020/10/26/155845870/mengapa-keunggulan-joe-biden-2020-berbeda-dengan-hillary-clinton-2016