Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Donald Trump, Membuat Amerika Berjaya Kembali

PADA masa pagebluk Corona, Prof Bill Liddle sebagai tokoh ilmuwan Amerika Serikat melalui milis Institut Peradaban menjawab pertanyaan Prof. Salim Said sebagai tokoh ilmuwan Indonesia tentang apakah Donald Trump akan terpilih kembali pada pilpres Amerika Serikat mendatang, yang demi tidak melakukan keliru tafsir saya langsung copas (copy paste) sebagai berikut:

Jawaban Bill

Terlalu awal. Banyak Demokrat optimis, mengingat kejahatan Trump dan beberapa poll baru. Tapi saya belum. Saya masih ingat bahwa sekitar 40 persen dari pemilih mendukung Trump, termasuk 90 persen atau lebih dari pemilih Republik.

Pendukung setia Trump terdiri dari basis intinya, para white supremacists yang ingin menghapuskan semua kemajuan rasial sejak Perang Dunia ke-II, dan banyak Katolik kanan dan Kristen Evangelis yang ingin mengangkat sebanyak mungkin hakim konservatif. Mereka didorong oleh masalah aborsi belaka.

Perubahan apa yang sedang terjadi di Amerika? Saya kembali ke white supremacists, yang dulu marjinal tetapi kini diberi angin oleh Trump.

Pengertian saya tentang social movements memang begitu. Ada banyak aliran di masyarakat.

Tahun 2008, orang pluralis dan anti-rasisme diberi angin oleh munculnya Obama. Kini para white supremacists dan orang-orang kanan lainnya diberi angin oleh munculnya Trump. Mereka manfaatkan.

Lalu Trump, yang sangat pinter dalam hal ini, terus memobilisasi orang-orang itu untuk mendukung kekuasaannya. Sebentar lagi dia akan mulai dengan rally-rally besar di beberapa kota, yang pasti akan lebih mengobarkan pendukung-pendukungnya.

Intensitas para pendukung itu betul-betul menakutkan saya. Kalau Trump menang ia akan merasa dibebaskan dari seluruh kendala.

Jaksa Agungnya, Bill Barr, akan mendukung apa saja yang diinginkan Trump, dengan dalih tafsirannya tentang Konstitusi yang memberi kekuasaan kepada presiden seakan-akan Trump adalah seorang raja. Aneh tapi nyata.

Kadang-kadang saya melihat Barr sebagai orang korup yang ingin mempertahankan bossnya dengan segala alat yang dia miliki. Dia sendiri mengaku seorang ahli Konstitusi, dan juga seorang Katolik yang percaya bahwa negara yang aman harus tunduk kepada kekuasaan Tuhan. Betul!

Silakan baca pidatonya baru-baru ini di Univ Notre Dame. Barr sangat eksplisit di sana tentang keyakinan agamanya dan maknanya bagi sebuah negara, termasuk AS.

Kalau Trump menang, Amerika akan menarik diri dari sebanyak mungkin hubungan luar negeri dengan dalih Amerika tidak mau menyerahkan kedaulatannya ke negara atau lembaga internasional lain.

Juga Trump akan terus bertindak secara impulsif, dan merasa lebih bebas lagi. Kecuali ada Kongres yang mayoritas Demokrat, baik di House maupun di Senat, yang mungkin akan memakzulkannya sekali lagi.

Kali ini, dengan harapan bahwa Trump bisa dijatuhkan.

Membuat Amerika berjaya kembali

Ada sesuatu yang mau saya tambahkan, yaitu pandangan pemilih Republik terhadap Amerika dan Trump, sejauh saya mampu memahaminya.

Kenapa mereka bersitegas mendukung seorang presiden yang jahat?

Lagipula, ia sedang merugikan banyak, termasuk lembaga hukum dalam negeri dan hubungan kami dengan hampir semua negara asing.

Jawabannya bisa ditemukan dalam semboyan kampanye Trump pada 2016. Make America Great Again.

Maknanya, kembalikan Amerika kepada suatu masa, katakanlah tahun 1950an, ketika kaum putih, khususnya laki-laki, merasa bahwa mereka menguasai seluruh alam mereka.

Tentu, rumusan mereka sendiri lebih umum, sebab dalam pandangan mereka, semua orang sempat menikmati keberhasilan Amerika pada waktu itu, termasuk perempuan dan orang Amerika-Afrika (meski kenyataannya tidak begitu, yang kita lihat kemudian dengan gerakan feminisme dan gerakan Amerika-Afrika untuk diberi hak yang sama dengan orang putih).

Kekuasaan pribadi itu, menurut mereka, kini sudah hilang, dihapuskan terutama oleh arus globalisasi tetapi juga banyak perubahan domestik.

Yang mereka salahkan, kaum “liberal,” dalam bentuk Partai Demokrat dan bagian besar media mainstream, terutama New York Times dan Washington Post, yang bersimpati kepada kaum liberal.

Untuk mengingatkan, liberal dalam pengertian Amerika berarti kesediaan menggunakan alat negara untuk memecahkan masalah sosial di masyarakat, jadi lebih dekat kepada demokrat sosial di Eropa.

Sebaliknya, konservatif dan Partai Republik melawan penggunaan alat negara di dalam negeri. Mereka ingin membangun sebuah negara tempat setiap orang bebas untuk menciptakan kehidupannya sendiri.

Penggunaan alat negara untuk memecahkan masalah sosial dilihat sebagai pemanjaan belaka. Termasuk perihal pendidikan publik yang bermutu serta jaminan atas perawatan kesehatan yang bermutu dan berada dalam jangkauan anggaran masyarakat.

Maka dari itu, mereka takut sekali pada kemenangan kaum liberal, yang mereka anggap tidak berbeda secara prinsip dengan komunisme, yaitu penguasaan mutlak negara atas masyarakat.

Kini, capres Demokrat Joe Biden dianggap musuh utama terhadap kebebasan mereka. Tentu, pendukung Trump dibagi dalam beberapa kelompok.

Ada kaum sekuler yang ingin mempertahankan haknya untuk memiliki senjata api. Ada kaum Kristen evangelis dan Katolik konservatif (seperti Jaksa Agung Bill Barr) yang merasa bahwa sekularisasi masyarakat sejak Perang Dunia II telah merampas banyak hak mereka dan mengancam menghapuskan agama.

Akhirnya, kaum bisnis juga pendukung Republik. Mereka tidak percaya atau peduli pada ancaman sekularisasi budaya. Mereka praktis saja, dan selama ini menganggap Partai Republik sebagai pembela bisnis.

Alasan itu, menurut perkiraan saya, masih cukup untuk memilih Trump lagi, meski orang lain, seperti saya, sulit mengerti keputusan itu, mengingat kejahatan Trump yang seharusnya mencemaskan dan menggelisahkan mereka juga. Semoga berguna.

Pancasila

Bagi saya, tanya-jawab dahsyat antara dua tokoh pemikir politik kelas langitan tersebut di atas bukan cuma berguna namun luar biasa berharga demi memperluas wawasan pandang kita di Indonesia tentang sebenarnya apa yang sedang terjadi di Amerika Serikat.

Kalau mau kita mampu mendayagunakan tanya-jawab antara dua begawan ilmu politik sebagai masukan inspirasi pelajaran agar kita dapat menyelenggarakan pilpres Indonesia 2024 secara lebih eling lan waspodo serta lebih positif dan konstruktif ketimbang pilpres Amerika Serikat yang ternyata tidak mengutamakan kepentingan rakyat .

Akibat memang Amerika Serikat tidak menghayati Pancasila maka meletakkan kepentingan bisnis di atas kepentingan rakyat. Kepentingan duit di atas segala-galanya.

https://www.kompas.com/global/read/2020/06/18/110841870/donald-trump-membuat-amerika-berjaya-kembali

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke