Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Cucun Ahmad Syamsurijal
Wakil Ketua Badan Anggaran DPR RI

Wakil Ketua Badan Anggaran DPR RI

Menyoal 20 Persen Anggaran untuk Pendidikan

Kompas.com - 05/02/2024, 09:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

SESUAI amanat Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) dan Undang-Undang (UU) nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), pemerintah mengalokasikan anggaran pendidikan sebesar 20 persen dari total Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Namun sejak aturan tersebut ditetapkan, alokasi 20 persen untuk pendidikan baru bisa direalisasikan mulai 2009. 

Pada 2009, anggaran pendidikan sebesar Rp 207,4 triliun, dan terus meningkat setiap tahunnya. Pada 2024, anggaran pendidikan dialokasikan sebesar Rp 665 Triliun.

Dari 2009 hingga 2024, total anggaran pendidikan yang sudah digelontorkan mencapai Rp 6.571,17 Triliun. Anggaran yang sangat besar tentunya.

Namun pertanyaan kritisnya adalah, dengan jumlah anggaran yang sangat besar tersebut, apakah program-program pendidikan yang dibuat sudah tepat sasaran? Apakah sudah berdampak signifikan terhadap peningkatan kualitas pendidikan penduduk Indonesia secara keseluruhan?

Yang perlu dipahami adalah sistem pendidikan merupakan spektrum sangat luas yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan, mulai dari siswa, tenaga pendidikan, hingga kurikulum.

Dengan luasnya spektrum tersebut tentu akan sangat banyak interaksi antarkomponen yang membutuhkan sistem selaras antara satu komponen dengan komponen lainnya.

Setelah sekitar 21 tahun berjalannya UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, penulis mempunyai beberapa catatan permasalahan dalam sistem pendidikan nasional yang harus menjadi perhatian bersama dan harus ditemukan solusi jitu untuk permasalahan tersebut.

Masalah pertama, terkait kesenjangan akses pendidikan terutama di daerah 3T (Tertinggal, Terdepan dan Terluar). Akses pendidikan di daerah 3T terhambat oleh tantangan ekonomi sehingga berdampak pada buruknya kualitas pendidikan.

Sebagai contoh, kasus di Provinsi Papua dan Nusa Tenggara Timur (NTT). Hanya 39 persen penduduk di Provinsi Papua yang menyelesaikan sekolah menengah. Sedangkan di Provinsi NTT mencapai 38,4 persen.

Kondisi ini tentunya sangat jauh dan timpang bila dibandingkan dengan Provinsi DKI Jakarta dan D.I. Yogyakarta yang rata-rata mencapai 87 persen.

Masalah kedua, masih rendahnya literasi siswa. Sejumlah asesmen internasional dan nasional menunjukkan rendahnya kemampuan dasar literasi siswa di Indonesia.

Skor Indonesia di bidang matematika 366 (rata-rata global 472), di bidang literasi 359 (rata-rata global 476), dan di bidang sains 383 (rata-rata global 485).

Kondisi ini tentu sangat memprihatinkan karena selama 20 tahunan, sejak Indonesia berpartisipasi dalam tes PISA pada 2000, ternyata tidak ada perubahan berarti bagi siswa-siswa Indonesia.

Selain masalah rendahnya tingkat literasi, ketimpangan literasi siswa antarsekolah juga masih sangat tinggi terutama untuk siswa-siswa di sekolah daerah 3T.

Masalah ketiga adalah Stagnasi Angka Partisipasi Kasar (APK) Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD). Pemerintah bertanggung jawab untuk meningkatkan layanan PAUD dengan memberikan anggaran memadai, pendidik kompeten, dan melibatkan masyarakat.

Namun, APK PAUD antara 2018-2022 menunjukkan penurunan mengkhawatirkan, terutama di tahun 2021 dan 2022. Pada 2021, sebanyak 22.629 desa (26,85 persen) belum memiliki layanan PAUD memadai.

Masalah keempat, terkait peningkatan kualitas dan kesejahteraan guru. Kurikulum Merdeka memberi fleksibilitas pada lebih dari 150.000 satuan pendidikan untuk menciptakan pembelajaran sesuai karakteristik siswa.

Program guru penggerak telah diterapkan sejak 2020 dengan tujuan meningkatkan kualitas guru. Namun program tersebut mandek karena terkendala keterbatasan kuota.

Persentase guru tersertifikasi pada berbagai jenjang sekolah masih memiliki tingkat variase tinggi, dengan tingkat tersertifikasi paling rendah di PAUD (3,5 persen).

Selain itu, gaji guru juga relatif rendah jika dibandingkan dengan tanggung jawab yang mereka emban sehingga sulit menarik individu berkualitas menjadi guru.

Beban kerja yang berat juga menjadi masalah tambahan yang menjadikan masalah ini semakin berat. Bahkan masih banyak kepala sekolah yang menggaji guru honorer seadanya melalui dana bantuan operasional sekolah (BOS).

Masalah kelima, terkait dengan perkembangan industri teknologi pendidikan. Perkembangan industri teknologi pendidikan membutuhkan perhatian pemerintah dalam menerapkan metode pembelajaran baru yang berbasis teknologi informasi.

Industri edutech berkembang pesat, tetapi regulasi yang mengaturnya belum memiliki standar kualifikasi instruktur secara komprehensif.

Oleh karena itu, diperlukan regulasi yang jelas untuk menjamin kualitas penyediaan pendidik daring terutama program pendidikan vokasi/kursus daring.

Masalah terakhir terkait Penguatan Pendidikan Vokasi. Revitalisasi pendidikan vokasi mendesak di tengah revolusi industri saat ini.

Meskipun lulusan SMK memiliki tingkat pengangguran tertinggi, pemerintah telah berupaya meningkatkan kualitasnya.

Langkah ke depan mencakup penyesuaian modul pengajaran, peningkatan keterampilan pengajar, peningkatan sarana dan prasarana, serta kerja sama dengan pasar kerja untuk pelatihan dan penyerapan tenaga kerja melalui sistem informasi pasar tenaga kerja.

Tentu permasalahan-permasalahan tersebut harus digali lebih mendalam untuk mengetahui secara detail permasalahan riilnya.

Namun, kembali ke pertanyaan yang terdapat di awal tulisan ini, apakah anggaran negara yang mencapai angka 20 persen dari total belanja negara sudah dapat meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia secara signifikan?

Sebagai gambaran umum, anggaran pendidikan tahun 2024 dialokasikan untuk berbagai instansi yang berhubungan dengan pendidikan.

Di Pemerintah Pusat, anggaran pendidikan sebesar Rp 241,5 Triliun yang tersebar pada 24 kementerian/lembaga dan juga pada Bendahara Umum Negara.

Tiga kementerian yang mendapatkan alokasi anggaran pendidikan tertinggi adalah Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi sebesar Rp 99 triliun, kemudian Kementerian Agama dengan alokasi anggaran sebesar Rp 62,3 triliun, dan Kementerian Sosial dengan alokasi anggaran sebesar Rp 12 triliun.

Kemudian anggaran yang ditransfer ke daerah menjadi belanja daerah sebesar Rp 346,5 triliun, dan alokasi untuk pembiayaan yang sebesar Rp 77 triliun.

Sedangkan program pembangunan untuk sektor pendidikan di antaranya adalah Program PAUD dan Wajib Belajar 12 Tahun, Program Pendidikan Tinggi, Program Kualitas Pengajaran dan Pembelajaran, Program Pendidikan dan Pelatihan Vokasi, Program Pemajuan dan Pelestarian Bahasa dan Kebudayaan, Program Perumahan dan Kawasan Permukiman, Program Perpustakaan dan Literasi, Program Pemanfaatan Teknologi lnformasi dan Komunikasi (TlK), Program Kepemudaan dan Keolahragaan, Program Riset dan lnovasi llmu Pengetahuan dan Teknologi, Program Kewirausahaan, Usaha Mikro, Kecil Menengah, dan Koperasi, serta Program Riset, lndustri, dan Pendidikan Tinggi Pertahanan.

Untuk mencapai tujuan pengembangan pendidikan yang optimal, langkah-langkah strategis yang terperinci dan terukur perlu diambil.

Pertama-tama, perlu dilakukan perencanaan anggaran yang efektif. Ini mencakup menyusun rencana anggaran yang tepat sasaran, dengan fokus pada masalah-masalah pendidikan yang paling mendesak.

Sunandar (Kompas, 2024), Guru Besar Bidang Manajemen Satuan Pendidikan Universitas Negeri Malang menjelaskan bahwa permasalahan pendidikan yang menjadi prioritas pertama adalah terkait dengan aksesibilitas.

Yaitu masih terbatas dan kurang akomodatifnya sekolah terhadap peserta didik dan masih banyak anak bangsa yang kesulitan mendapatkan sekolah.

Selain itu, aksesibilitas terkait jarak dan rute tempuh. Kemudian berturut-turut permasalahan terkait dengan kualitas pembelajaran, relevansi pendidikan yang tidak sejalan dengan kebutuhan keahlian pekerjaan, dan pemerataan bidang pendidikan terutama pemerataan berkaitan dengan fasilitas dan kualitas pembelajaran.

Alokasi anggaran haruslah mencerminkan prioritas dalam mengatasi masalah-masalah tersebut.

Pada belanja kementerian/lembaga, infrastruktur hanya dianggarkan sebesar Rp 3,2 Triliun, atau setara 1,3 persen.

Kemudian pada komponen Transfer Ke Daerah, infrastrutur pendidikan dialokasikan melalui Dana Alokasi Khusus Fisik Bidang Pendidikan sebesar Rp 15,8 Triliun atau setara 4,5 persen dari dana Transfer Ke Daerah.

Tentu jumlah ini sangat kecil jika dibandingkan dengan kebutuhan pembangunan sekolah. Contohnya di DKI Jakarta yang memiliki ruang fiskal yang cukup besar, dari 267 kelurahan se-Jakarta pada 2023, terdapat 16 kelurahan yang belum memiliki SD, 98 kelurahan belum memiliki SMP, dan 165 kelurahan belum mempunyai sekolah. Di daerah lain tentu kondisinya hampir sama atau bahkan jauh lebih buruk.

Keterbatasan anggaran memang menjadi persoalan sehingga prioritas dalam penggunaan anggaran pendidikan tersebut menjadi sangat penting.

Masih banyak kegiatan-kegiatan yang tidak relevan dengan dunia pendidikan, namun masuk dan menjadi bagian dari fungsi pendidikan, seperti program kepemudaan, keolahragaan, bahkan UMKM.

Pemerintah seharusnya memanfaatkan anggaran pendidikan untuk kebutuhan mendesak dari pendidikan seperti kekurangan sekolah, kekurangan guru, dan kesejahteraan guru, sehingga anggaran pendidikan benar-benar efektif untuk memajukan kuantitas dan kualitas pendidikan.

Langkah kedua adalah meningkatkan efisiensi penggunaan anggaran pendidikan. Efisiensi anggaran pendidikan adalah membandingkan jumlah input yang berupa anggaran pendidikan dengan output yang dihasilkan, biasanya menggunakan variabel seperti rata-rata lama sekolah, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dan harapan lama sekolah.

Kondisi efisien relatif tercapai apabila pada tingkat input yang sama menghasilkan output lebih besar, input lebih kecil menghasilkan output sama, atau input lebih besar menghasilkan output lebih besar lagi.

Anggaran pendidikan di Indonesia masih tercatat belum efisien. Seperti temuan penelitian yang dilakukan oleh Aditama dkk (2022) yang menunjukkan bahwa masih banyak daerah di Jawa Timur yang belum efisien dalam mengalokasikan belanja pemerintah di bidang pendidikan.

Pemerintah kabupaten/kota Provinsi Jawa Timur kurang tepat dalam mengidentifikasi permasalahan pada proses penganggaran dan alokasi belanja pemerintah di bidang pendidikan.

Kinerja pemerintah masih belum optimal dalam mengidentifikasi dan menganalisis permasalahan pelayanan publik di bidang pendidikan baik di fasilitas, sarana pendidikan, prasarana pendidikan dan administrasi, sehingga perencanaan anggaran belanja sektor pendidikan bisa lebih akurat

Maka dari itu, diperlukan pengawasan dan evaluasi yang cermat terhadap penggunaan anggaran, untuk memastikan bahwa setiap dana yang dialokasikan digunakan secara optimal.

Dengan demikian, kontrol terhadap belanja operasional, investasi dalam teknologi pendidikan yang efisien, dan pemantauan terhadap pelaksanaan program-program pendidikan menjadi kunci untuk memastikan penggunaan dana yang efektif dan efisien.

Pemerintah dapat menata kembali permasalahan di bidang pendidikan dasar sehingga dapat dilakukan berbagai upaya perbaikan dan dilakukan proses penganggaran dan alokasi belanja yang tepat sehingga nantinya belanja tersebut mampu meningkatkan kualitas pendidikan di setiap kabupaten.

Selain itu, untuk mengatasi keterbatasan anggaran dari sumber APBN, perlu mencari sumber pendanaan tambahan. Salah satu cara adalah dengan memperluas jangkauan mencari dana dari sektor swasta dan filantropi.

Terdapat beberapa contoh dalam mencari sumber pendanaan lain di luar APBN untuk pendidikan, termasuk penggalangan dana melalui Corporate Social Responsibility (CSR) dari perusahaan swasta dan dukungan dari lembaga filantropi, baik dari dalam negeri maupun internasional.

Contoh dari internasional yang dapat dimanfaatkan seperti dari perusahaan Microsoft Philantrophies, Google Education, Toyota Education Fundation, dan masih banyak perusahaan lainnya yang menyumbangkan miliaran dolar AS untuk meningkatkan akses terhadap teknologi pendidikan dan pelatihan guru di berbagai negara.

Di dalam negeri, pemerintah memiliki potensi mengkonsolidasikan CSR perusahaan-perusahaan dalam negeri untuk pengembangan pendidikan dengan merancang undang-undang khusus tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan.

Inisiatif seperti menggandeng perusahaan swasta untuk menyumbangkan dana CSR untuk proyek-proyek pendidikan, atau menarik perhatian dari lembaga filantropi untuk menyokong program-program pendidikan yang inovatif, dapat membantu meningkatkan jumlah dana yang tersedia untuk pendidikan tanpa harus bergantung sepenuhnya pada anggaran pemerintah.

Dengan memperluas sumber pendanaan ini, harapannya kebutuhan pendidikan yang semakin kompleks dan berkembang dapat diatasi dengan lebih baik.

Anggaran pendidikan Indonesia telah mencapai 20 persen dari APBN, sesuai dengan amanat UUD 1945. Namun, masih terdapat kesenjangan dalam penyaluran anggaran, di mana daerah tertinggal dan terluar masih belum mendapatkan akses pendidikan yang memadai.

Oleh karena itu, perlu dilakukan upaya untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi penggunaan anggaran pendidikan.

Upaya tersebut dapat dilakukan dengan memperkuat perencanaan dan pengawasan anggaran, meningkatkan akuntabilitas dan transparansi pengelolaan anggaran, dan meningkatkan peran serta masyarakat dalam pengawasan dan pengelolaan anggaran.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com