Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pakar Unesa Sebut Ada 2 Masalah Besar dalam Sepak Bola Indonesia

Kompas.com - 07/10/2022, 10:02 WIB
Dian Ihsan

Penulis

KOMPAS.com - Tragedi Kanjuruhan masih menyisakan duka yang mendalam bagi seluruh masyarakat Indonesia bahkan dunia, khususnya dunia sepak bola.

Buntut dari insiden tersebut, sejumlah pihak mendapatkan sanksi, sebagian jajaran dicopot dari jabatannya dan sebagian ada yang ditetapkan sebagai tersangka.

Baca juga: Pakar Unpad Bicara Soal Tragedi Stadion Kanjuruhan

Dosen sejarah Fakultas Ilmu Sosial dan Hukum (FISH) Unesa, Rojil Nugroho Bayu Aji menilai, ulasan terkait keamanan, sistem pengamanan dan standar operasional prosedur (SOP) gas air mata, serta pitch invasion itu bagus untuk proses investigasi pada tragedi Kanjuruhan.

Mengenai sanksi yang diberikan misalnya kepada Arema FC, menurut Bayu itu tidak menyelesaikan permasalahan.

Setidaknya, ada 2 problem besar dalam sepak bola Indonesia.

Pertama, permasalahan struktural dari sisi penegakan hukum dan bagaimana stakeholders sepak bola dalam mewujudkan regulasi yang tepat baik teknis maupun non-teknis pertandingan.

Faktor non-teknis tidak bisa diabaikan, karena gejolak atau konflik yang terjadi di dalam maupun di luar stadium seringkali dipicu hal-hal non-teknis.

"Apabila kompetisi dikelola dengan baik, kekecewaan atau konflik yang terjadi bisa terselesaikan," ucap pria yang mengikuti perkembangan sejarah sepak bola dan suporter di Indonesia dan dunia itu, seperti melansir laman Unesa, Jumat (7/10/2022).

Kedua, permasalahan cultural. Ini berkaitan dengan 'tradisi' dan situasi sosial kondisi suporter yang tentunya memiliki karakter yang berbeda-beda.

Hal itu perlu pemetaan dan penanganan yang tepat bagaimana suporter bertemu dengan tim klub atau suporter lain.

Dari aspek suporter, tambahnya, juga ada akar persoalan yang perlu dipotong rantainya.

"Suporter sendiri harus berani mengakui 'kesalahan' apabila melakukan tindakan negatif," ungkap dia.

Baca juga: 5 Negara yang Penduduknya Paling Malas di Dunia, Indonesia Nomor 1

Selanjutnya, suporter harus berperan aktif dalam memutus rantai kekerasan verbal, membuang yel-yel, chant atau lagu yang mengandung unsur kekerasan, di antaranya 'dibunuh saja', 'gak iso moleh', 'nek kalah rusuh', dan seterusnya.

"Apa jadinya jika chant dan lagu itu dinyanyikan secara terkoordinir seisi stadion, dinikmati, didengarkan anak-anak lalu ditiru? Kekerasan itu akan menumbuh," tutur Bayu.

Apabila ini terus dibiarkan akan membentuk kesadaran kolektif bersama akan kekerasan dan membangkitkan rasa 'kebencian' antar suporter.

Hal ini menjadi catatan penting untuk suporter, klub sepak bola dan stakeholder untuk memutus kekerasan verbal atau simbolik.

"Sejauh ini, sudah ada suporter yang berhasil memutus rantai itu kemudian membuat lagu-lagu yang fokus mendukung timnya dengan lirik-lirik yang kreatif dan positif," jelas dia.

Karena itu yang bisa dilakukan ke depan, yaitu memperbaiki regulasi dan penerapannya di level struktural dan memperbaiki atau memutus rantai ‘kekerasan’ antar suporter di level kultural.

Selain itu meningkatkan edukasi dan kesadaran pentingnya kultur sepak bola yang sehat dan menyenangkan.

Baca juga: Guru Besar Unesa Komentari Tragedi Stadion Kanjuruhan

Dia berharap kejadian ini benar-benar jadi pembelajaran dan pembenahan bersama sehingga tragedi Kanjuruhan terjadi lagi ke depan dan iklim sepak bola Indonesia bisa naik kelas.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com