"Seringkali orang-orang berani menghakimi orang secara keseluruhan, hanya dari story yang hanya belasan detik. Padahal bagaimana belasan detik dapat merepresentasikan seluruh hal yang terjadi," urai dosen Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Unair ini.
Baca juga: Dibuka Pukul 15.00 WIB, Ini Daftar PTN dan Politeknik di SNMPTN 2022
Di satu sisi, peran netizen sebagai hakim dalam konteks cancel culture, dapat menjadikan mereka buta akan realitas yang sebenarnya dapat dicari.
Sedangkan di sisi lain, kebebasan berbicara merupakan hak asasi manusia yang dimiliki semua manusia. Baik bagi pihak netizen sebagai hakim maupun pelaku.
"Merupakan hal yang salah bila membatasi pelaku dalam memberikan hak jawab," imbuhnya.
Nisa berpesan sebelum melakukan penghukuman maupun penghakiman ada baiknya netizen mengonfirmasi kebenaran yang ada.
Baca juga: Lowongan Kerja Perusahaan Tambang Bauksit bagi Lulusan S1, Tertarik?
Dia menekankan, karena cancel culture akhirnya hanya jadi main hakim sendiri kalau netizen hanya melakukan apa yang baik di mata mereka. Tanpa melihat perspektif lain, dan tanpa mengonfirmasi kebenaran yang sebenarnya ada.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.