Ketika ke empat "konsideran" tersebut sudah diakomodasi, maka hal paling penting adalah mengubah perkuliahan di PGSD/MI agar calon guru langsung bisa menggunakan di calon kelasnya, ini tugas LPTK (Lembaga Pendidik dan Tenaga Kependidikan d/h IKIP) yang sudah di bawah kendali Kemdikbud.
Selain itu, ketika sudah menjadi guru SD/MI, mereka harus dilatih cara mengajar setiap Mapel dengan benar dan baik.
Pembelajaran "old fashioned" yang senang dengan kecepatan menyelesaikan soal, sehingga kecenderungan memperbanyak latihan soal dan jawaban harus benar sesuai kunci jawaban, wajib diubah menjadi pembelajaran yang lebih menantang eksplorasi dan fleksibel serta berupaya keras dalam menjawab soal dengan waktu lebih lentur dan dengan cara masing masing.
Baca juga: Tuntutan Kurikulum Darurat Covid-19, Ini Respon Kemendikbud
Guru, selain siap menjadi fasilitator yang kadangkala harus mengaku bisa menjawab pertanyaan murid dan mengajak bersama sama mencari jawaban, harus pula mengubah mindset dari beranggapan bahwa muridnya terkotak kotak potensinya, ada yang "berotak" matematika, yang lain kuat di bahasa, lain lagi di seni dan pengetahuan sosial.
Riset membuktikan bahwa umumnya potensi otak tidak tergantung bakat dan usia, namun dari cara penggunaannya (Boaler, 2019).
Ketika salah satu saja prasyarat tersebut diabaikan, terutama jika tidak ada perubahan pembelajaran dikelas, maka secanggih apapun perubahan kurikulum dan sehebat apapun dukungan semua pemangku kepentingan, maka mutu hasil belajar khususnya mapel Bahasa Indonesia dan Matematika di jenjang SD/MI mustahil bisa diraih dan gagalah pemerintah menggapai target RPJMN 2019-2025 dan beban ongkos "kebodohan" pun tidak berubah.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.