Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Ahmad Rizali
Pemerhati pendidikan

Pemerhati pendidikan, Kabid Pendidikan NU Circle, dan Presidium Gernas Tastaka

Mengubah Kurikulum, Meraih Mutu?

Kompas.com - 19/06/2020, 11:11 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

KOMPAS.com - Selain sudah memasukan "baseline" indikator mutu menggunakan capaian PISA 2018 dan AKSI 2019 di RPJMN 2019-2025 dan Renstra Kemdikbud 2019-2025 karena gawatnya situasi mutu pendidikan Indonesia yang terbebani nyaris Rp 1.000 Triliun setiap Tahun (Kompas.com), saya mendengar Kemdikbud berupaya mengubah kurikulum SD/MI untuk meraih perbaikan mutu.

Upaya itu patut dihargai, karena kurikulum itu ibarat resep layaknya dan saking pentingnya "ingredients" produk sudah diatur dalam UU Sisdiknas dalam bentuk Mata Pelajaran (Mapel) wajib, meskipun "prosesnya" diatur melalui Peraturan Pemerintah (PP).

Sehingga, pertama, mengubah kurikulum wajib memperhatikan payung hukum ini agar tak menimbulkan kegaduhan berkepanjangan dan biasanya tak memperoleh hasil maksimal, apalagi UU Sisdiknas sedang dalam proses politik direvisi.

Kedua, meskipun ketika proses politis sudah dipertimbangkan, maka "common sense" dalam berfikir harus disatukan dengan mitigasi gaduh yang mungkin terjadi dalam pelaksanaan.

Semisal, alangkah wajarnya jika kaum terdidik mengatakan bahwa intisari moral Pancasila sudah ada dalam pelajaran Agama Islam dan agama lain yang diakui pemerintah, sehingga kedua Mapel ini disatukan.

Baca juga: Kemendikbud: Ketuntasan Kurikulum Tak Perlu Dipaksakan di Masa Pandemi

Alangkah gaduhnya ketika akhirnya ada yang membenturkan Pancasila dengan Agama, meskipun kaum terdidik paham bahwa kesamaan itikad bermoral semua Agama itu di Pancasila dan semua Agama memiliki perbedaan yang mustahil disatukan.

Ketiga, adalah wajar pula jika sesama Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) dan Ilmu Pengetahuan Sosial (IPA) adalah "Sciences" yang memiliki kaidah keilmuan yang sama, sehingga Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) adalah kumpulan pakar IPA dan IPS termasuk Sejarah.

Namun alangkah bingungnya guru kelas di jenjang SD/MI ketika akan mengajarkan intisari kaidah dasar itu karena cara berpikir "silo" yang sudah terbentuk dan memiliki logika yang khas masing masing.

Keempat, dampak taktis pelaksanaan di lapangan. Sebagus apapun "resep" itu diperbaiki, jika juru masaknya hanya dilatih "Knowledge" dalam memasak dan tidak permah dilatih mempraktekan "Knowhow", maka mapel tidak akan pernah disukai para murid.

Apalagi jika berpikir dengan "common sense" dan hanya mendengar keluhan guru SD/MI bahwa penyebab buruknya hasil belajar adalah karena kurangnya waktu untuk mata pelajaran tertentu saat di kelas.

Maka penambahan waktu mapel yang kenaikan mutunya ditarget Renstra Kemdikbud seperti Bahasa Indonesia dan Matematika hanya akan menambah kecemasan, stres dan trauma murid dan gurunya, jika pembelajaran di kelas SD/MI tidak berubah.

Perbaiki pembelajaran di kelas

 

Ketika ke empat "konsideran" tersebut sudah diakomodasi, maka hal paling penting adalah mengubah perkuliahan di PGSD/MI agar calon guru langsung bisa menggunakan di calon kelasnya, ini tugas LPTK (Lembaga Pendidik dan Tenaga Kependidikan d/h IKIP) yang sudah di bawah kendali Kemdikbud.

Selain itu, ketika sudah menjadi guru SD/MI, mereka harus dilatih cara mengajar setiap Mapel dengan benar dan baik.

Pembelajaran "old fashioned" yang senang dengan kecepatan menyelesaikan soal, sehingga kecenderungan memperbanyak latihan soal dan jawaban harus benar sesuai kunci jawaban, wajib diubah menjadi pembelajaran yang lebih menantang eksplorasi dan fleksibel serta berupaya keras dalam menjawab soal dengan waktu lebih lentur dan dengan cara masing masing.

Baca juga: Tuntutan Kurikulum Darurat Covid-19, Ini Respon Kemendikbud

Guru, selain siap menjadi fasilitator yang kadangkala harus mengaku bisa menjawab pertanyaan murid dan mengajak bersama sama mencari jawaban, harus pula mengubah mindset dari beranggapan bahwa muridnya terkotak kotak potensinya, ada yang "berotak" matematika, yang lain kuat di bahasa, lain lagi di seni dan pengetahuan sosial.

Riset membuktikan bahwa umumnya potensi otak tidak tergantung bakat dan usia, namun dari cara penggunaannya (Boaler, 2019).

Ketika salah satu saja prasyarat tersebut diabaikan, terutama jika tidak ada perubahan pembelajaran dikelas, maka secanggih apapun perubahan kurikulum dan sehebat apapun dukungan semua pemangku kepentingan, maka mutu hasil belajar khususnya mapel Bahasa Indonesia dan Matematika di jenjang SD/MI mustahil bisa diraih dan gagalah pemerintah menggapai target RPJMN 2019-2025 dan beban ongkos "kebodohan" pun tidak berubah.

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Lengkapi Profil
Lengkapi Profil

Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com