Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Dosen Unair: Seperti Ini Sejarah Mudik di Indonesia

KOMPAS.com - Saat lebaran, mudik sudah menjadi tradisi bagi masyarakat di Indonesia. Tujuannya tentu untuk silaturahmi dengan sanak saudara di kampung.

Biasanya, tradisi ini dilakukan oleh umat muslim yang tengah merantau, baik untuk tujuan pekerjaan, pendidikan, maupun yang lainnya.

Lantas, sejak kapan sebenarnya tradisi mudik itu berlangsung? Bagaimana eksistensi tradisi mudik saat ini?

Sejarah mudik di Indonesia

Terkait sejarah mudik lebaran, dosen Departemen Sejarah Universitas Airlangga (Unair), Moordiati, SS., MHum., menerangkan bahwa sebenarnya fenomena pulang kampung atau mudik sudah ada sejak zaman Kerajaan Majapahit dan Mataram Islam.

Ketika itu, para penguasa yang ditugaskan bekerja di luar kerajaan akan pulang dan kembali ke kampungnya di hari-hari tertentu.

Walaupun telah ada sejak zaman kerajaan, tetapi fenomena mudik serta penggunaan istilahnya diperkirakan baru terjadi secara besar-besaran pada 1960-an hingga 1980-an. Hal itu selaras dengan tingginya angka urbanisasi masyarakat desa dan kota.

"Jadi, istilah ini mulai berkembang dan menjadi sesuatu yang sangat masif pada tahun 1960-an, 1970-an, 1980-an, seiring dengan masifnya urbanisasi," ujarnya dikutip dari laman Unair, Rabu (19/4/2023).

Barulah yang membuat orang berbondong-bondong dari tempat dia bekerja menuju tempat asalnya. Inilah yang kemudian dikaitkan dengan tradisi dan bahasa Melayu.

Namun dari asal istilahnya, kata mudik merupakan serapan dari bahasa Melayu yang berarti dari hilir ke hulu.

Dalam tradisi Melayu, mudik itu artinya perpindahan dari hilir ke hulu. Jadi, mereka biasanya pergi setiap pagi ke hilir, kemudian pulang ke hulu ketika sore.

"Mudik berasal dari istilah 'udik' yang secara istilah juga bisa berarti dengan ujung, yang artinya pergi ke asalnya," imbuh dia.

Hanya saja, istilah mudik dalam perkembangannya juga mengalami perubahan. Tentu seiring dengan tradisi lebaran, mudik diasosiasikan dengan istilah Jawa mulih dhisik yang artinya ‘pulang dulu’.

Seiring dengan adanya tradisi lebaran, orang-orang mengatakan istilah mudik yang artinya mulih dhisik, serapan dari bahasa Jawa. "Ini masuk akal mengingat banyak orang Jawa yang merantau dan melakukan mudik saat lebaran," jelasnya.

Esensi mulai berubah

Namun seiring perkembangannya, fenomena mudik terus mengalami perubahan. Pengaruhnya karena dinamika sosial dan perubahan zaman yang menyertai. Menurut Moordiati, fenomena mudik dulu dan kini telah mengalami perubahan esensi.

Dosen yang aktif mengkaji sejarah kota, gender, dan kesehatan itu menekankan bahwa pada tahun 60-an hingga 80-an, ‘roh’ dari fenomena mudik sangat jelas terlihat.

Mudik selalu menjadi momen bagi para perantau untuk melepaskan rindu akan keluarga dan kampung halaman, mengingat adanya ikatan emosional yang sangat erat.

"Kalau dulu mudik itu kan, rohnya sangat kelihatan, utamanya saat proses urbanisasi sangat tinggi, sekitar tahun 60-an hingga 80-an. Orang mudik itu ya, memang karena dia ingin pulang ke kampung halamannya sebab ada ikatan emosional yang tinggi," katanya.

"Jadi, dulu orang melakukan mudik dengan cara apa pun. Meski istilahnya dengan kendaraan yang seadanya dan minimalis," jelasnya.

Namun untuk kini, tradisi mudik telah banyak berubah. Moordiati memandang bahwa perubahan itu penyebabnya karena perubahan gaya hidup, peningkatan kehidupan sosial, hingga persaingan status sosial.

Sehingga, mudik yang semula sebagai ajang melepas rindu dan bersilaturahmi seolah menjadi kehilangan esensinya.

"Orang sekarang mudik tidak lagi seperti zaman dulu. Jadi mereka ketika pulang itu bukan karena ada ikatan emosional lagi, tetapi karena mereka ingin menunjukkan social life mereka di tempat rantau," tandas dia.

https://www.kompas.com/edu/read/2023/04/21/105247771/dosen-unair-seperti-ini-sejarah-mudik-di-indonesia

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke