Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Tes Calistung Masuk SD Dihapus, P2G: Masih Banyak Sekolah Melanggar

KOMPAS.com - Langkah Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Mendikbud Ristek) Nadiem Makarim yang menghapus tes baca, tulis, hitung (calistung) sebagai syarat masuk SD diapresiasi Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G).

Tetapi, P2G menyebut bahwa fakta di lapangan masih banyak SD baik negeri maupun swasta yang masih mensyaratkan calon siswa bisa calistung. 

Pasalnya, sebelum dirilisnya Merdeka Belajar Episode ke-24 Transisi PAUD ke SD, P2G menyebut sudah ada 2 peraturan yang melarang calistung sebagai syarat masuk SD. 

Hal tersebut dipaparkan Koordinator Nasional P2G, Satriwan Salim. Ia mengatakan, larangan calistung sebagai syarat masuk SD sebenarnya sudah ada sejak tahun 2010.

Hal itu diatur dalam pasal 69 ayat 5 Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan.

"Isinya seleksi calon peserta didik baru kelas 1 (satu) SD tidak boleh dilakukan berdasarkan tes membaca, menulis, dan/atau berhitung," kata Satriwan.

Selain itu, tes calistung sebagai syarat masuk SD juga dilarang di masa Mendikbud Muhadjir Effendi bahkan telah diterbitkan Permendikbud Nomor 14 Tahun 2018 tentang bahkan Peserta Didik Baru (PPDB).

Khususnya pasal 12 ayat 4, yaitu "Dalam seleksi calon peserta didik baru kelas 1 (satu) SD atau bentuk lain yang sederajat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilakukan tes membaca, menulis, dan berhitung."

Bahkan di masa awal Nadiem Makarim menjabat, larangan tersebut tegas termaktub dalam Permendikbud Nomor 1 Tahun 2021 tentang PPDB, pasal 30 ayat 3 yang isinya, seleksi calon peserta didik baru kelas 1 (satu) SD tidak boleh dilakukan berdasarkan tes membaca, menulis, dan/atau berhitung. 

Namun, masih banyak SD yang mensyaratkan calistung.

Tidak ada pengawasan atau sanksi

Menurut Satriwan, masih banyaknya SD yang mensyaratkan calistung terjadi karena kurangnya pengawasan dan sanksi dari berbagai pihak.

"Bagi kami, upaya Mendikbudristek untuk kembali menekankan pentingnya transisi PAUD ke SD yang menyenangkan harus diapresiasi. Tapi, pertanyaannya mengapa praktik syarat calistung masuk SD masih terus terjadi belasan tahun meskipun sudah dilarang dalam peraturan?" tanya Satriwan.

Ia mengatakan, fenomena syarat calistung masuk SD ini tidak terkendali seperti bola salju di sekolah negeri maupun swasta. Praktik tersebut makin lama semakin besar dan meluas.

Hal ini karena kurangnya pengawasan dari Kementerian dan dinas pendidikan selama ini.

Seharusnya, dengan adanya aturan larangan tes Calistung sejak 2010, kementerian dan dinas pendidikan memiliki kewenangan melakukan monitoring, pengawasan, dan evaluasi berkala terhadap praktik tes calistung yang merupakan bagian dari pelaksanaan PPDB di daerah.

"Sayangnya, monitoring, pengawasan, dan evaluasi berkala terhadap praktik tes calistung di daerah tidak dilakukan pemerintah. Praktik yang berdampak buruk bagi perkembangan mental anak demikian tumbuh subur merata di banyak sekolah, lebih parah lagi dinas pendidikan membiarkannya," lanjut Satriwan.

P2G meminta Kemdikbudristek rutin melakukan pengawasan dan monitoring. Kedepan pemerintah bisa mengumumkan SD mana saja dan di daerah mana yang masih melakukan syarat calistung bagi calon siswanya.

Jika pengawasan dan monitoring saja tidak cukup, maka perlu mencari data SD mana saja yang masih melakukan syarat calistung. Sehingga akan menjadi landasan untuk memberikan sanksi tegas.

"Jadi maraknya tes calistung sebagai syarat masuk SD, juga disebabkan tidak adanya sanksi dari kementerian dan dinas pendidikan terhadap sekolah yang masih mempraktikannya," katanya lagi.

Ia mengatakan jika Menteri Nadiem ingin transisi PAUD ke SD menyenangkan siswa dan agar pencegahan syarat calistung ini efektif di lapangan, Kemdikbudristek harus menindaklanjuti dengan membuat aturan tertulis berisi larangan berikut sanksi tegas bagi sekolah dan/atau dinas pendidikan yang tidak mengindahkannya.

Perlu dukungan orangtua dan guru

Sementara menurut Iman Zanatul Haeri, Kepala Bidang Advokasi P2G, bagi P2G upaya Kemdikbudristek ini patut didukung optimal oleh semua stakeholders pendidikan.

Para guru PAUD dan SD harus memikirkan dampak negatif bagi perkembangan psikologis anak dan sosial emosional karena sekolah mensyaratkan anak bisa berhitung dan menulis.

Dampak buruk tersebut bisa berlanjut sampai usia remaja bahkan dewasa. Bersekolah akan menjadi beban berat, anak jadi tak percaya diri, inferior, menilai dirinya bodoh karena masuk SD tapi tak bisa baca tulis hitung.

Peran guru sangat penting, karena masih banyak persepsi guru yang menganggap anak kelas 1 SD sudah seharusnya mampu calistung.

Padahal pemahaman ini bertentangan dengan prinsip dasar pedagogis dan psikologi perkembangan anak. Apalagi dengan kebijakan Kurikulum Merdeka yang menekankan fleksibilitas dan penyederhanaan konten dalam pembelajaran.

"Desain pembelajaran SD hendaknya berorientasi pada pembangunan karakter anak, penanaman dan pembentukan nilai. Sekolah adalah arena bermain dan kegiatan pembelajaran berdampak positif terhadap tumbuh kembang anak," ujar Iman.

Guru juga harus sabar menghadapi anak-anak dalam belajar. Guru mendesain pembelajaran agar anak-anak berkembang secara baik, membangun rasa percaya diri, mengenali lingkungan, mengelola emosi, dan secara bertahap memahami dasar literasi dan angka.

Semua ini dicapai dengan metode pembelajaran yang menyenangkan, membangun partisipasi anak, dan memfasilitasi rasa ingin tahu anak.

Terutama hal tersebut akan tercapai jika buku-buku teks yang disediakan Kemdikbudristek terdistribusikan sampai ke pelosok daerah 3T dengan baik. Tampilan dan konten buku harus mendukung pembelajaran yang menyenangkan itu. Pelatihan bagi guru mutlak dilakukan.

Selain itu maraknya tes calistung juga disebabkan faktor pola pikir dan pola asuh orangtua apalagi yang tinggal di perkotaan. Orangtua yang terobsesi dan berambisi anaknya bisa calistung sejak PAUD bahkan mampu berbahasa asing sejak dini akan menjadi kebanggaan keluarga.

Persepsi orangtua yang mengasuh anaknya dengan aspek kognitif saja akan membebani anak bahkan mencerabut hak-hak dasar anak itu sendiri.

"Orangtua tipe ini akan kecil hati kalau anaknya tertinggal dalam calistung sejak PAUD. Biasanya yang mendorong orang tua memaksakan kehendaknya karena ingin memasukkan anaknya ke SD favorit. Mereka menjadi panik karena tidak bisa mengirimkan anaknya ke SD favorit yang diidamkan," kata dia.

Belum lagi, orangtua berlomba mendaftarkan anak usia dini ke Bimbel calistung. Bimbel ini menyediakan atau menawarkan pembelajaran dengan percepatan agar anak bisa calistung sejak dini, ada permintaan pasar di sini," ungkap Iman.

Menurut Iman, harus ada tindakan atau sanksi tegas kepada lembaga Bimbel Calistung bagi usia PAUD yaitu ditutup.

Faktor keberadaan Bimbel demikian menjadi penghambat kebijakan Kemdikbudristek dapat diimplementasikan dengan optimal.

Bimbel ini justru yang mempengaruhi cara pandang dan sikap anak serta orang tua dalam proses pembelajaran di sekolah. Orang tua juga hendaknya diberi pemahaman pedagogis yang utuh dari Kemdikbudristek dan Dinas Pendidikan agar tidak melakukan tekanan kepada anak.

P2G sangat berharap, Kemendikbudristek melakukan evaluasi komprehensif terhadap efektivitas kebijakan Transisi PAUD ke SD yang menyenangkan ini tahun depan.

https://www.kompas.com/edu/read/2023/03/31/123404771/tes-calistung-masuk-sd-dihapus-p2g-masih-banyak-sekolah-melanggar

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke