Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Epidemiolog Unair: Gejala Cacar Monyet, Cara Penularan, dan Pencegahan

KOMPAS.com - World Health Organization (WHO) telah menetapkan cacar monyet (monkeypox) sebagai darurat kesehatan global (Public Health Emergency of International Concern) karena penyebarannya yang makin meluas.

Biostatistika Epidemiologi Unair, Windhu Purnomo, menjelaskan bahwa seruan WHO itu dimaksudkan agar negara-negara di dunia mengantisipasi potensi menyebarnya suatu penyakit.

Meskipun demikian, Windhu menekankan bahwa masyarakat Indonesia tidak perlu panik merespons penetapan darurat cacar monyet ini.

Di level kebijakan pemerintah, Windhu menekankan bahwa Indonesia telah siap dalam pencegahan cacar monyet sejak tahun 2019, di mana kala itu terdeteksi kasus cacar monyet di Singapura.

Pemerintah Indonesia sudah memiliki kesiapan dalam menghadapi endemi ini, dan pakar sudah mengetahui cara-cara penularan serta pencegahan penularannya.

Hanya saja, menurut Windhu, masih ada hal yang harus dilakukan oleh pemerintah.

Pertama, terang dia, adalah komunikasi publik yang baik supaya masyarakat paham terkait gejala-gejala cacar monyet.

"Sehingga, mereka bisa segera melaporkannya dan dapat dites sebagai suspek. Karena gejala cacar monyet ini mirip seperti cacar air dan campak, publik harus diberitahu untuk tidak boleh meremehkan dan segera melaporkannya ke petugas kesehatan di puskesmas atau rumah sakit," tekan Windhu, dilansir dari laman Universitas Airlangga.

Kedua adalah menjaga pintu-pintu masuk negara seperti bandara dan pelabuhan, di mana bilamana terdeteksi suspek harus segera tes PCR.

Gejala cacar monyet dan cara penularan

Windhu menjelaskan, penyebaran cacar monyet ini tidak secepat Covid-19 karena cara penularannya lewat sentuhan fisik.

Sementara itu, gejala dari cacar monyet ialah muncul ruam dan bintil-bintil layaknya cacar, dan virusnya ada di sana.

"Untuk itu, penyebaran via droplet (cipratan air liur/bersin) ini jauh lebih kecil posibilitasnya karena harus ada ruam di daerah mulut terlebih dahulu,” ujar dosen FKM Unair.

Sementara itu, ditambahkan dari laman Kemenkes, cacar monyet dapat menyebabkan berbagai tanda dan gejala.

Sementara beberapa orang memiliki gejala ringan, yang lain mungkin mengalami gejala yang lebih berat dan memerlukan perawatan di fasilitas kesehatan.

Mereka yang berisiko lebih tinggi untuk penyakit yang lebih parah atau komplikasi termasuk orang-orang yang sedang hamil, anak-anak dan orang-orang dengan penyakit kekebalan tubuh.

Gejala cacar monyet biasanya demam, sakit kepala hebat, nyeri otot, sakit punggung, lemas, pembengkakan kelenjar getah bening (di leher, ketiak atau selangkangan) dan ruam atau lesi kulit.

Ruam biasanya dimulai dalam satu sampai tiga hari sejak demam. Ruam atau lesi pada kulit ini berkembang mulai dari bintik merah seperti cacar, lepuh berisi cairan bening, lepuh berisi nanah, kemudian mengeras atau keropeng lalu rontok.

Jumlah lesi pada satu orang dapat berkisar dari beberapa saja hingga ribuan. Ruam cenderung terkonsentrasi pada wajah, telapak tangan dan telapak kaki.

Ruam juga dapat ditemukan di mulut, alat kelamin, dan mata. Ruam cacar monyet terkadang disalahartikan sebagai sifilis atau herpes.

Gejala biasanya berlangsung antara 2-4 minggu dan biasanya sembuh sendiri.

Namun, pada beberapa individu, dapat menyebabkan komplikasi medis dan kematian. Orang dengan penyakit penurunan kekebalan tubuh kemungkinan berisiko mengalami gejala yang lebih serius. Sementara, pengobatan bersifat menghilangkan gejala dan suportif.

Siapa pun yang memiliki gejala cacar monyet atau yang telah melakukan kontak dengan seseorang yang terinfeksi cacar monyet harus menghubungi atau mengunjungi fasilitas layanan kesehatan dan meminta saran tenaga kesehatan.

Pencegahan cacar monyet

Windhu mengatakan bahwa metode pencegahan cacar monyet layaknya pencegahan virus-virus lainnya, yakni PHBS (perilaku hidup bersih dan sehat). Hal ini berarti seperti rajin cuci tangan dan memakai masker harus tetap dilakukan.

Mengingat penyebarannya melalui sentuhan, maka kontak fisik pada orang yang tidak dikenal harus diminimalisir. Sederhananya, perilaku seperti jangan bersentuhan hingga berhubungan seks sembarangan.

“PHBS ini kalau dalam kesehatan masyarakat merupakan bentuk primordial prevention, yakni pengurangan resiko tertular. Namun, juga ada primary prevention dalam bentuk specific protection, yakni vaksin. Untungnya vaksin ini pada dasarnya sudah tersedia di dunia, karena cacar monyet ini bisa dicegah dengan vaksin cacar (smallpox) jadi kita tidak perlu penelitian vaksin terlebih dahulu seperti COVID kemarin. Produksinya jadi mudah. Ditambah lagi untuk orang yang sudah divaksin cacar seperti saya, kekebalannya seumur hidup,” tuturnya.

Hal lain yang Windhu tekankan dalam wawancara ini bahwa cacar monyet ini bukan penyakit LGBTQ+.

Sekalipun penelitian menunjukkan bahwa penyebaran utama cacar monyet di wilayah Eropa itu pada kalangan homoseksual, harus dipahami bahwa penyebarannya tidak ada hubungannya dengan orientasi seksual.

“Jadi pemberitaan seperti itu harus dibetulkan, karena nanti akan menimbulkan stigma dan diskriminasi. Penyebaran cacar monyet ini melalui sentuhan, ya siapa saja bisa kena entah itu orientasinya homoseksual atau heteroseksual,” tutupnya.

https://www.kompas.com/edu/read/2022/07/29/134431671/epidemiolog-unair-gejala-cacar-monyet-cara-penularan-dan-pencegahan

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke