KOMPAS.com - Calon presiden (capres) nomor urut 2, Prabowo Subianto mengatakan, demokrasi sangat melelahkan, berantakan, dan mahal.
Hal itu disampaikan Prabowo saat menghadiri Mandiri Investment Forum 2024 di Fairmont Hotel, Jakarta, pada Selasa, 5 Maret 2024.
"Dan izinkan saya memberi kesaksian bahwa demokrasi sangat-sangat melelahkan, demokrasi sangat berantakan. Demokrasi sangat costly (makan biaya). Dan kita sampai sekarang masih tidak puas dengan demokrasi kita," ujar Prabowo.
Dosen Departemen Ilmu Politik dan Pemerintahan dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Alfath Bagus Panuntun El Nur Indonesia menjelaskan, pernyataan Prabowo memang benar.
Akan tetapi, Alfath menilai ada kompleksitas tertentu yang perlu diuraikan lebih mendalam.
Menurut dia, konsep demokrasi di Indonesia yang menempatkan pentingnya musyawarah untuk mencapai konsensus terkadang memakan waktu yang tak sedikit. Kondisi ini membuat pihak tertentu merasa kelelahan.
"Dalam banyak hal, musyawarah yang dilakukan seringkali memicu ketegangan di tengah masyarakat dan berujung deadlock. Akhirnya, keputusan yang diambil tidak benar-benar bisa memuaskan semua pihak dan cenderung kompromistis," ucap Alfath.
Lebih lanjut, Alfath menuturkan, mahalnya demokrasi seringkali dikaitkan dengan besarnya pembiayaan pemilu, baik yang didanai negara, partai politik maupun kandidat.
Pada pemilu tahun ini misalnya, alokasi negara untuk penyelenggaraan Pemilu 2024 mencapai Rp71,3 triliun, jauh melampaui pemilu sebelumnya.
"Sementara biaya yang harus dikeluarkan calon legislatif (bukan dari negara) termasuk biaya untuk mendekati dan merawat konstituen-juga diprediksi meningkat, yang nilainya sangat fantastis hingga mencapai miliaran rupiah." ucapnya.
Menurut Alfath, hal itu terjadi karena adanya budaya patron-klien (relasi yang saling memberikan timbal balik), pendidikan politik yang minim, serta perilaku elite dan politikus nakal yang menjadikan kemiskinan dan ketimpangan sebagai komoditas politik.
Kebiasan untuk menggunakan uang dan instrumen lainnya, seperti politisasi bantuan sosial (bansos) membuat masyarakat menjadi sangat materialistis.
Sehingga, Alfath menyatakan bahwa situasi ini menjadikan pemilu di Indonesia sebatas jual beli suara.
Hal senada juga diungkapkan oleh Wawan Kurniawan, peneliti Laboratorium Psikologi Politik Universitas Indonesia. Menurut Wawan, yang dikatakan Prabowo soal demokrasi Indonesia. terasa melelahkan adalah benar.
Ia menjelaskan, konsep “kelelahan demokrasi” dapat dikaitkan dengan teori kelelahan keputusan (decision fatigue) dan ego depletion.
Teori tersebut menjelaskan bahwa proses pengambilan keputusan yang berkepanjangan dapat menurunkan kualitas keputusan dan kepuasan terhadap sistem.
Dalam demokrasi, proses deliberatif (melalui pertimbangan mendalam) dan kompleksitas pengambilan keputusan seringkali menimbulkan kelelahan bagi pemilih dan pemangku kepentingan.
"Penelitian tentang demokrasi di Indonesia menunjukkan bahwa meskipun terdapat kemajuan signifikan dalam hal partisipasi politik dan kebebasan sipil sejak Reformasi 1998, tantangan seperti korupsi, polarisasi politik, dan ketidaksetaraan sosial-ekonomi masih membayangi kualitas demokrasi," kata Wawan.
Menurut dia, saat ini demokrasi di Indonesia memang sedang menghadapi tantangan yang membuatnya terasa melelahkan dan berantakan.
Namun dengan pendekatan yang berbasis pada temuan dan teori ilmiah menunjukkan bahwa dengan upaya yang tepat, kualitas demokrasi dapat ditingkatkan.
***
Artikel ini merupakan hasil kolaborasi program Panel Ahli Cek Fakta The Conversation Indonesia bersama Kompas.com dan Tempo.co, didukung oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI).
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.