Ketua Komnas HAM RI Ahmad Taufan Damanik menilai bahwa kasus penyiraman air keras ini terorganisir, dengan adanya pembagian peran. Peran itu, menurut dia, mulai dari pemantau, pengintai, sampai eksekutor.
"Tindakan penyiraman ini bukan personal, karena waktu itu sempat dibangun opini bahwa mungkin berhubungan dengan permasalahan pribadi Saudara Novel, tetapi ada kaitan yang erat dengan pekerjaan Saudara Novel sebagai penyidik KPK," kata Taufan dikutip dari situs Komnas HAM.
Komnas HAM membentuk Tim Pemantauan Proses Hukum kasus Novel Baswedan yang mulai bekerja pada awal Maret 2018.
Tim itu baru merilis laporannya pada 21 Desember 2018.
Dalam laporan itu, Komnas HAM meminta Kapolri membentuk tim gabungan pencari fakta (TGPF).
Butuh waktu lama pula untuk menunggu hasil penyelidikan TGPF.
Kasus Novel berlangsung selama dua masa jabatan Kapolri, yakni di masa kepemimpinan Jenderal (Pol) Tito Karnavian dan Jenderal (Pol) Idham Azis.
Dilansir Kompas.com, 18 Juli 2019, berikut sejumlah temuan TGPF atas kasus Novel Baswedan:
Terdapat dua tersangka pelaku penyiraman air keras, yakni Rahmat Kadir dan Rony Bugis.
Penetapan tersangka baru dilakukan pada Desember 2019, tetapi rekonstruksi kasusnya baru dilakukan pada 7 Februari 2020.
Dikutip dari Kompas.com, 16 Juli 2020, Rahmad Kadir divonis dua tahun penjara, sementara Rony Bugis 1 tahun 6 bulan penjara.
Keduanya terbukti bersalah karena melanggar Pasal 353 Ayat (2) KUHP jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP, subsider Pasal 351 Ayat (2) KUHP jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.
Vonis yang dijatuhkan lebih tinggi dari tuntutan jaksa penuntut umum, yakni satu tahun penjara.