Pengamat kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Bambang Rukminto munculnya berbagai hoaks dan narasi keliru tidak terlepas dari akuntabilitas dan lambatnya penanganan polisi.
Bambang menilai, pernyataan awal kepolisian dalam merespons Tragedi Kanjuruhan cenderung defensif dan terkesan prematur.
Contohnya adalah pernyataan mantan Kapolda Jawa Timur Irjen Nico Afinta yang mengatakan bahwa penembakan gas air mata sudah sesuai prosedur sebagai upaya mencegah kerusuhan. Padahal, FIFA melarang penggunaan gas air mata untuk mengurai massa di stadion.
"Itu karena kelemahan kerja dari kepolisian. Hoaks itu kan pasti ada, apakah Polri menunggu hoaks-hoaks itu terus? Atau jangan-jangan malah yang membuat hoaks Polri sendiri untuk mengaburkan fokus masyarakat, jangan-jangan loh, ya," ujar Bambang kepada Kompas.com, Rabu (5/10/2022).
Penanganan polisi yang dinilai tidak akuntabel dan cenderung tidak terbuka menimbulkan berbagai persepsi di masyarakat. Akibatnya muncul berbagai hoaks dan narasi yang keliru.
Di sisi lain, Bambang menyayangkan adanya pihak-pihak yang membuat narasi keliru, seolah-olah tragedi terjadi karena kesalahan suporter.
Ia menekankan, sejatinya kritik yang ditujukan kepada Polri bukan bertujuan untuk menjatuhkan institusi tersebut, melainkan membangun kultur kepolisian yang lebih baik dan jauh dari citra kekerasan.
"Narasi-narasi yang dimunculkan oleh orang yang tidak tahu soal kasus ini di lapangan kan membela Polri. Polri jangan disudutkan dan sebagainya, percuma begitu," ujarnya.
"Kita sedang tidak menyudutkan Polri tetapi bagaimana membangun peradaban keamanan yang lebih baik. Kalau Kapolri tidak membangun kultur di internal dengan baik ya bagimana kepercayaan masyarakat akan kembali," kata Bambang.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.