Waloejo Sedjati adalah satu dari banyak mahasiswa yang harus dicabut kewarganegarannya karena menolak tunduk para Orde Baru.
Keputusannya untuk melanjutkan studi kedokteran di luar negeri justru membuatnya terbuang dari Indonesia.
Pada 1960, sebelum Soeharto berkuasa, Waloeja mendapatkan beasiswa untuk belajar di luar negeri. Pria kelahiran Pekalongan ini mendapat beasiswa belajar ke Pyongyang, ibu kota Korea Utara.
Sebagai seorang mahasiswa Indonesia yang mendapat beasiswa, Waloejo mempunyai keinginan jika studinya di luar negeri sudah selesai akan kembali ke Indonesia untuk mengabdikan ilmu yang ia dapat.
Namun keinginan itu sirna, karena pada 1967 paspornya dicabut dan ia kehilangan hak sebagai WNI.
Baca juga: Kisah Letkol Untung, Dijatuhi Eksekusi Mati Setelah G30S
Menurut Waloejo, pencabutan paspor dilakukan KBRI karena ia dan beberapa mahasiswa yang tengah belajar di Pyongyang menolak untuk dilakukan skrining oleh Orde Baru.
"Di sini, setiap orang diteliti dan diuji loyalitasnya terhadap rezim Orde Baru di Jakarta. Karena aku menolak skrining, maka pasporku dicabut. Aku kehilangan kewarganegaraanku, dan menjadi pengembara tanpa identitas," kata Waloejo Sedjati dalam bukunya yang berjudul, Bumi Tuhan: Orang Buangan di Pyongyang, Moskwa, dan Paris (2013)
Waloejo Sedjati bersama teman-temanya di Pyongyang sadar akan konsekuensi yang ia hadapi karena menolak skrining dari Orde Baru, Namun, ia mengaku saat itu tidak ada yang menunjukkan rasa penyesalan.
"Apa sih artinya pencabutan paspor ini bila dibandingkan dengan kawan-kawan di Tanah Air yang dikejar, disiksa dan dicabut nyawanya?" ujar Waloejo.
Baca juga: Mengapa Hoaks dan Isu PKI Masih Laku untuk Propaganda Politik?
Setelah merampungkan sekolah kedokteran di Pyongyang, ia pun terpaksa meminta kepada guru pembimbingnya untuk diberi izin tinggal sementara di asrama Politeknik Kim Caik.
Saat itu ia memang tidak bisa pulang ke Indonesia akibat kewarganegaraannya telah dicabut.
Waloejo Sedjati menjadi seorang pengembara tanpa identitas di luar negeri. Jiwanya kerap tersiksa, jauh dari keluarga, dan tidak mendapat sebuah keadilan. Baginya sangat sulit melupakan Indonesia, meski ia telah dibuang dari negara tersebut.
"Sekarang aku telah kehilangan panutan dan kewarganegaraan. Kehilangan segala-galanya, dan bukan menjadi siapa-siapa lagi. Aku kini hanya seorang pengembara tanpa identitas, sebagai anak bangsa yang terpidana," ucap Waloejo Sedjati.
Baca juga: Di Balik Perbedaan Istilah Gestapu, Gestok, hingga G30S...
Setelah dari Pyongyang, Waloejo Sedjati berpindah ke Moskwa dan berlanjut ke Paris sebagai seorang eksil '65 yang kehilangan kewarganegaraannya.
Pada 2013 ia meninggal dunia di Paris. Jenazahnya dikremasi tanggal 13 September 2013 di krematorium pemakaman Pere Lancheise, 71 rue des Rondeaux 750202 Paris.