Ia menguasai beberapa bahasa asing, seperti Yunani, Latin, Perancis, dan Italia. Kemampuan ini membantunya mengembangkan kemampuan diplomasi. Dia juga mempelajari teologi, namun lebih tertarik pada pengetahuan kenegaraan.
Saat ada pergantian kekuasaan, dari Henry ke Edward atau saat Mary merebut takhta dari Lady Jean Grey, Elizabeth selalu dibayangi kekhawatiran dituduh merebut kekuasaan yang bisa mengantarkannya pada hukuman berat.
Saat Ratu Mary I menghadapi pemberontakan, Elizabeth bahkan sempat ditahan di Menara London pada Januari 1554.
Kondisi Kerajaan Inggris juga sempat terbelah karena faktor agama. Raja Edward semasa hidupnya menganut Protestan, sedangkan Ratu Mary ingin agar Inggris kembali menjadi bagian dari Katolik Roma.
Sikap Mary yang kejam terhadap masyarakat Protestan membuat dia dikenal sebagai Bloody Mary.
Namun, Elizabeth tetap bersikap tenang dan menyatakan dirinya tidak berhubungan dengan pemberontakan terhadap Mary. Mata-mata kerajaan pun tak bisa membuktikan keterlibatan Elizabeth.
Elizabeth akhirnya menjadi ratu setelah Mary meninggal pada 1558. Sebagai penerus takhta dari dinasti Tudor, dia berusaha menyatukan negerinya, bahkan sejak pawai penobatannya.
Sikap dan penampilannya disebut berhasil menggabungkan kelembutan dan keagungan, yang secara politik mampu meyakinkan rakyat mengakui kepemimpinannya.
Selama kepemimpinannya, Ratu Elizabeth I masih harus menangani keretakan antara kelompok Katolik dan Protestan, serta pengaruh dari luar negeri, terutama Gereja Katolik Roma.
Hal itu juga berpengaruh pada rencana pernikahannya. Orang yang akan menjadi suaminya bisa saja mempengaruhi arah kerajaan cendrung ke Katolik atau Protestan, atau menyimpan kepentingan lain.
Maka rakyat pun tidak memalingkan perhatian mereka pada urusan ini. Ratu Elizabeth menghadapinya dengan menunjukkan cinta pada negara. Dia meyakinkan bahwa tanpa raja, pemerintahan itu tetap bisa diselenggarakan.
Sir Robert Naunton mencatat bahwa selain pangeran dan raja dari negara lain, ada anggota Dewan Penasihat Kerajaan Inggris, Earl Leicester, yang berusaha memikat Ratu Elizabeth I namun terus gagal.
"Saya hanya memiliki satu nyonya dan tidak ada tuan di sini," kata Ratu pada Earl Leicester dalam suatu kesempatan.
Dia dinilai enggan berbagi kekuasaan sehingga tidak menikah. Dia juga dianggap bukan ratu boneka dengan mengambil sendiri keputusan yang penting secara tegas dan berhati-hati.
Reformasi pemerintahan di bawah kepemimpinannya mengalami kemajuan. Elizabeth I enggan mengurusi keagamaan, namun dia mamanfaatkan urusan itu untuk kepentingan masyarakat.
Ratu Elizabeth I meninggal dunia pada 24 Maret 1603, setelah mengisyaratkan Raja James VI dari Skotlandia sebagai penerus, karena tak memiliki keturunannya sendiri.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.