Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menilik Kekuatan Koalisi Gerindra-PKB, Memperkuat Potensi Suara atau Instruksi Jokowi?

Kompas.com - 18/08/2022, 09:09 WIB
Luqman Sulistiyawan,
Bayu Galih

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Wacana koalisi antara Partai Gerindra dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) menjadi sorotan. Pasalnya, dalam sejarah perpolitikan Indonesia keduanya kerap berseberangan dalam pemilihan umum.

Pada Sabtu (13/8/2022) kemarin, kedua partai tersebut membuat sejarah baru dengan menandatangani piagam deklarasi koalisi.

Jika rencana koalisi awet, pada Pemilu 2024 mereka akan bahu-membahu dalam bertarung di pemilu.

Sampai saat ini, kedua partai tersebut belum menunjuk calon presiden yang akan diusung. Namun, diprediksi Prabowo Subianto akan kembali bertarung untuk ketiga kalinya di pemilihan presiden.

Baca juga: Cak Imin Sebut Ada yang Tak Ingin Koalisi PKB-Gerindra Terbentuk: Dari Internal dan Eksternal

Merebut suara nahdliyin

Banyak yang memprediksi, koalisi ini dibentuk salah satunya adalah untuk meraup suara dari kalangan nahdliyin, kelompok masyarakat yang identik dengan Nahdlatul Ulama (NU).

Pasalnya, selama ini PKB dekat dengan organisasi terbesar di Indonesia ini. Sedangkan, dalam pilpres sebelumnya Prabowo kurang maksimal dalam meraup suara di kalangan NU.

Sejumlah pengamat pun menilai koalisi tersebut cukup ideal untuk bertarung pada 2024 nanti. Prabowo dinilai mewakili kelompok nasionalis, sedangkan Muhaimin Iskandar (Cak Imin) mempresentasikan kelompak religius.

"Prabowo dan Cak Imin ini sebenarnya pasangan yang komplet. Pasangan dari nasionalis dan religius," ujar pendiri Lembaga Survei KedaiKOPI, Hendri Budi Satrio, Senin (15/8/2022).

"Hanya saja pertanyaan besarnya, koalisi Gerindra-PKB ini datang dari hati atau karena instruksi atasannya di institusi pemerintahan, yakni Pak Jokowi (Joko Widodo)," kata dia.

Baca juga: Prabowo Diprediksi Cari Cawapres yang Kuasai Basis Suara Jawa Timur, Khususnya Nahdliyin

Papan atas

Dalam sejumlah survei, saat ini elektabilitas Prabowo memang berada di papan atas. Ketua umum Partai Gerindra ini bersaing dengan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo dan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan.

Survei Litbang Kompas yang dilakukan pada 26 Mei hingga 4 Juni 2022 lalu menunjukkan elektabilitas Prabowo berada di urutan pertama dengan 25,3 persen.

Jajaran pimpinan Partai Gerindra dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) bergandengan tangan pasca penandatanganan piagam deklarasi koalisi di Sentul International Convention Center (SICC), Bogor, Jawa Barat, Sabtu (13/8/2022). KOMPAS.com/ Tatang Guritno Jajaran pimpinan Partai Gerindra dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) bergandengan tangan pasca penandatanganan piagam deklarasi koalisi di Sentul International Convention Center (SICC), Bogor, Jawa Barat, Sabtu (13/8/2022).

Menyusul di urutan kedua Ganjar Pranowo dengan elektabilitas 22 persen dan Anies pada peringkat ketiga dengan elektabilitas 12,6 persen.

"Nyaris tak ada pergerakan signifikan pada elektabilitas ketiga tokoh itu," ucap peneliti Litbang Kompas Bambang Setiawan dilansir dari harian Kompas, Rabu (22/6/2022).

Bambang mengungkapkan, hasil ini tak jauh berbeda dengan hasil survei Litbang Kompas pada Januari lalu.

Saat itu Prabowo memiliki tingkat elektabilitas 26,5 persen, mengungguli elektabilitas Ganjar yang berada di urutan kedua dengan angka 20,5 persen dan Anies di peringkat ketiga dengan 14,2 persen.

Baca juga: Muhaimin Sebut Ada 2 Partai Ingin Gabung Koalisi Gerindra-PKB

Potensi Prabowo

Suara dari kalangan nahdliyin selama ini dinilai cukup potensial dalam ajang pemilu, karena organisasi NU memang memiliki pengikut yang besar.

Jika Prabowo menginginkan suara NU maka berkoalisi dengan PKB menjadi langkah yang tepat, pasalnya selama ini PKB selalu identik dengan NU.

Sebagai pengamat politik, Hendri Satrio melihat adanya upaya Prabowo untuk meraih suara NU melalui PKB.

Terlebih, sebelumnya pada Pilpres 2019, Prabowo kurang maksimal meraih suara dari NU setelah Jokowi menggandeng Ma’aruf Amin sebagai pasangannya.

"Iya, memang partainya NU ya PKB, suka atau tidak suka. Cuma persepsi masyarakat ya seperti itu. Maka memang Pak Prabowo menginginkan juga suara NU via PKB itu," ujar Hensat, panggilan akrab akademisi Universitas Paramadina ini.

Baca juga: Prabowo atau Ganjar Pranowo, Siapa Dapat Endorse Jokowi pada Pilpres 2024?

Menurut dia, jika koalisi ini awet sampai 2024 nanti maka Prabowo yang akan lebih dominan menjadi calon presiden dibandingkan Cak Imin.

"Karena melihat dari survei Prabowo lebih tinggi elektabilitasnya. Kecuali kemudian dalam perbincangannya Prabowo akhirnya menginginkan figur calon presiden yang lebih muda, mungkin Sandiaga Uno yang akan diusung oleh Gerindra," kata Hensat.

"Kalau Sandiaga Uno, bisa jadi terbalik, Cak Imin (calon) presiden. Sandiaga Uno (calon) wakil presiden," tuturnya.

Ditulis Kompas.com sebelumnya,  Kepala Departemen Politik dan Perubahan Sosial Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Arya Fernandes menilai, meski NU tidak terlibat dalam politik praktis, tetapi dukungan mereka tetap terasa sampai saat ini

"Agak susah untuk melepaskan NU sepenuhnya dalam politik praktis. DNA elite-elite NU itu ya politik. Salah satu DNA NU memang politik," kata Arya Selasa (24/5/2022).

Menurut Arya, karena NU pernah menjadi partai politik dan pernah menjadi salah satu kekuatan penting politik Indonesia di masa lalu, maka tidak mengherankan suara mereka banyak diincar oleh para elite.

Baca juga: Cak Imin: Banyak yang Minta Saya Tidak Berkoalisi dengan Prabowo

Dari hati atau instruksi ?

Sejumlah partai di koalisi Jokowi pada Pilpres 2019 lalu mulai terpecah. Setelah sebelumnya Partai Golkar, Partai Amanat Nasional (PAN) dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) membentuk Koalisi Bersatu (KIB), kini giliran Gerindra dan PKB yang membentuk koalisi baru. 

Beragam spekulasi pun bermunculan terkait terbentuknya dua koalisi tersebut, termasuk bersatunya Gerindra dengan PKB, apakah dibentuk dari hati atau malah instruksi dari Jokowi.

"Misterinya kenapa ya koalisi dalam pemerintahan Pak Jokowi mencar-mencar akhirnya. Pertama adalah apakah ada perpecahan dalam koalisi Pak Jokowi," ucap Hensat.

"Pertanyaan kedua, jangan-jangan tidak ada perpecahan dan ini di-setting oleh Pak Jokowi, jadi nanti siapa pun presidennya All Jokowi Man, apakah begitu? Dua pertaanyaan itu harus dijawab dulu, terlepas dari demokrasi di 2024 akan berbeda dengan 2019 dan 2014," kata pria kelahiran Jakarta ini.

Hensat menyatakan, jika koalisi yang saat ini terbentuk awet dan bukan settingan maka akan berdampak  baik untuk demokrasi Indonesia. Sebab, akan membuat calon presiden semakin banyak dan tidak hanya sekadar dua calon.

Jika calon presiden lebih dari dua, rakyat pun akan lebih bervaritif dalam memilih pemimpin yang akan dipercaya memimpin Indonesia lima tahun ke depan.

"Catatannya adalah penguasa saat ini Presiden Jokowi tidak menghalangi siapa pun tokoh Indonesia untuk maju ke dalam perhelatan Pilpres 2024 nanti," kata dia. 

Hensat berharap partai besar lain seperti Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dan Partai Nasdem bisa membuat koalisi sendiri dan tidak bergabung dengan KIB maupun koalisi Gerindra dan PKB. Supaya calon presiden tidak hanya dua orang saja seperti pemilu sebelumnya.

"Mudah-mudahan saja bukan karena instruksi tetapi dari hati, nah kalau dari hati harusnya koalisi ini masih langgeng sampai 2024," kata Hendri Satrio.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

[HOAKS] Presiden Iran Selamat dari Kecelakan Helikopter

[HOAKS] Presiden Iran Selamat dari Kecelakan Helikopter

Hoaks atau Fakta
CEK FAKTA: Benarkah Oposisi Tak Lagi Dibutuhkan dalam Pemerintahan?

CEK FAKTA: Benarkah Oposisi Tak Lagi Dibutuhkan dalam Pemerintahan?

Hoaks atau Fakta
[KLARIFIKASI] Isu Lama, Produk Bayi Mengandung Bahan Penyebab Kanker

[KLARIFIKASI] Isu Lama, Produk Bayi Mengandung Bahan Penyebab Kanker

Hoaks atau Fakta
[HOAKS] Suporter Indonesia Kumandangkan Takbir Jelang Laga Lawan Irak

[HOAKS] Suporter Indonesia Kumandangkan Takbir Jelang Laga Lawan Irak

Hoaks atau Fakta
[HOAKS] Bansos Tunai Rp 175 Juta Mengatasnamakan Kemensos

[HOAKS] Bansos Tunai Rp 175 Juta Mengatasnamakan Kemensos

Hoaks atau Fakta
[KLARIFIKASI] Foto Ini Bukan Pemakaman Presiden Iran Ebrahim Raisi

[KLARIFIKASI] Foto Ini Bukan Pemakaman Presiden Iran Ebrahim Raisi

Hoaks atau Fakta
[HOAKS] Modus Baru Mencampur Gorengan dengan Narkoba

[HOAKS] Modus Baru Mencampur Gorengan dengan Narkoba

Hoaks atau Fakta
INFOGRAFIK: Aturan Pelarangan TikTok di Berbagai Negara, Simak Alasannya

INFOGRAFIK: Aturan Pelarangan TikTok di Berbagai Negara, Simak Alasannya

Hoaks atau Fakta
INFOGRAFIK: Beredar Hoaks Kenaikan Tarif Listrik, Simak Bantahannya

INFOGRAFIK: Beredar Hoaks Kenaikan Tarif Listrik, Simak Bantahannya

Hoaks atau Fakta
Toni Kroos dan Cerita Sepatu Istimewanya...

Toni Kroos dan Cerita Sepatu Istimewanya...

Data dan Fakta
[KLARIFIKASI] Konteks Keliru Terkait Video Helikopter Medevac AS

[KLARIFIKASI] Konteks Keliru Terkait Video Helikopter Medevac AS

Hoaks atau Fakta
[HOAKS] Penerapan Denda Rp 500 Juta pada Pengobatan Alternatif

[HOAKS] Penerapan Denda Rp 500 Juta pada Pengobatan Alternatif

Hoaks atau Fakta
Fakta-fakta Terkait Insiden Turbulensi Pesawat Singapore Airlines

Fakta-fakta Terkait Insiden Turbulensi Pesawat Singapore Airlines

Data dan Fakta
[KLARIFIKASI] Konteks Keliru soal Video Ronaldo Sapa Suporter Timnas Indonesia

[KLARIFIKASI] Konteks Keliru soal Video Ronaldo Sapa Suporter Timnas Indonesia

Hoaks atau Fakta
[HOAKS] Video Detik-detik Helikopter Presiden Iran Jatuh

[HOAKS] Video Detik-detik Helikopter Presiden Iran Jatuh

Hoaks atau Fakta
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com