KOMPAS.com - Pembunuhan musisi John Lennon menjadi salah satu tragedi terbesar dalam sejarah musik dunia.
Mantan personil The Beatles itu tewas pada 8 Desember 1980 karena ditembak oleh seorang fansnya, Mark David Chapman dengan revolver kaliber .38.
Enam bulan setelah peristiwa itu, tepatnya pada 22 Juni 1981, Chapman akhirnya mengaku bersalah di pengadilan.
Chapman lalu dijatuhi hukuman 20 tahun penjara seumur hidup pada 24 Agustus 1981, lima tahun lebih singkat dari hukuman maksimum karena pengakuan bersalahnya.
Sejak tahun 2000 (ketika dia pertama kali memenuhi syarat) Chapman telah mengajukan pembebasan bersyarat setiap dua tahun, namun selalu ditolak.
Chapman dan The Catcher in the Rye
Fakta mencengangkan dari pembunuhan Lennon adalah kenyataan bahwa polisi tak perlu bersusah payah memburu pelakunya.
Usai menghabisi nyawa Lennon di depan gedung apartemennya di Upper East Side New York pada 8 Desember 1980 malam, Chapman tidak melarikan diri dari lokasi kejadian.
Fakta lain yang tak kalah mengejutkan, Lennon bahkan sempat bertemu dengan Chapman beberapa jam sebelum pembunuhan terjadi.
Dilansir dari Independent, sekitar pukul 17.00 Lennon hendak mengikuti sesi rekaman lagu istrinya, Yoko Ono, "Walking on Thin Ice" di Record Plant.
Sebelum berangkat ke studio rekaman, pelantun lagu "Imagine" itu sempat menandatangani album Double Fantasy yang dibawa Chapman.
Saat Lennon hendak memasuki gedung apartemennya bersama Ono sekitar pukul 22.50, Chapman menembakkan lima peluru ke Lennon, empat di antaranya mengenai punggungnya.
Lennon segera dilarikan ke rumah sakit terdekat, Roosevelt Hospital, dengan mobil polisi, tetapi meninggal dalam perjalanan. Ia dilaporkan tewas pada saat kedatangan.
Sementara itu, Chapman dengan tenang tetap berada di lokasi penembakan sambil membaca novel The Catcher in the Rye karya J. D. Salinger sampai ia ditangkap polisi.
Kepada polisi, Chapman mengaku telah merencanakan pembunuhan itu selama beberapa bulan, dan mengeklaim bahwa dirinya membunuh Lennon karena terinspirasi oleh karakter Holden Caulfield dari novel The Cathcer in the Rye.
Konspirasi pembunuhan Lennon
Dilansir dari The Sun, kematian Lennon di saat popularitasnya masih jauh dari kata redup telah memicu kemunculan serangkaian teori konspirasi.
Dalam buku Drugs as Weapons Against Us (2017), penulis John Potash mengeklaim bahwa Central Intelligence Agency (CIA) telah melatih Chapman untuk membunuh Lennon.
Ia mengatakan, badan intelijen Amerika Serikat itu ingin menghentikan pengaruh Lennon yang dinilai telah menyebarkan ideologi "radikal kiri" setelah ia mengadakan serangkaian acara anti-perang dan konser amal untuk membebaskan aktivis John Sinclair yang dipenjara.
Chapman juga disebut dikendalikan menggunakan obat-obatan dan hipnosis, serta disebut sempat menghilang dan berada di Chicago selama tiga hari sebelum tiba di New York.
Hal ini diklaim menunjukkan bahwa Chapman sedang dilatih untuk membunuh Lennon.
Bresler juga mengutip letnan polisi New York yang menginterogasi Chapman pada malam pembunuhan Lennon, yang mengatakan bahwa Chapman tampak seperti telah "diprogram".
Dilansir dari Daily Star, gagasan bahwa Chapman telah diprogram untuk menghabisi nyawa mantan pentolan Beatles itu juga diungkapkan penulis Phil Strongman.
Menurut Strongman, dalam bukunya John Lennon: Life, Times and Assassination (2010), Chapman telah diprogram untuk melakukan pembunuhan, dengan novel The Catcher in the Rye sebagai pemicunya.
Selain keterlibatan CIA dan FBI, beredar pula teori yang menyebut bahwa pembunuh Lennon sebenarnya adalah penjaga pintu gedung apartemen, bukan Chapman.
Akan tetapi, Chapman tidak pernah menyangkal bahwa dia adalah orang yang menghabisi nyawa Lennon dan bahwa dia bertindak seorang diri.
Chapman mengaku bersalah
Tidak diragukan lagi bahwa Chapman telah menembak Lennon, tetapi sedikit yang mengira bahwa ia akan mengakui kesalahannya di pengadilan.
Dilansir dari UCR, pengacara Chapman telah mengajukan pembelaan tidak bersalah dengan alasan kondisi kejiwaan yang terganggu.
Ketika ditangkap, Chapman memberi tahu petugas bahwa dia adalah Holden Caulfield (protagonis novel The Catcher in the Rye) dan juga iblis.
Tak hanya itu, pada awal 1981 Chapman mengirim surat ke New York Times berisi ajakan kepada semua orang untuk menemukan pencerahan dalam novel karya J.D. Salinger itu.
Namun, saat tanggal persidangan semakin dekat, Chapman menolak strategi pengacaranya yang memintanya mengaku sakit jiwa di depan pengadilan.
Pada 22 Juni 1981, Chapman mengaku bersalah atas pembunuhan Lennon.
“[Itu] keputusannya sendiri,” kata Jonathan Marks, pengacara Chapman kepada Daily News.
“Dia menolak saran saya dengan alasan bahwa dia percaya bahwa [pada] 8 Juni dan 10 Juni Tuhan menyuruh Chapman untuk mengaku bersalah,” tuturnya.
Di pengadilan, Chapman dengan tenang menjawab beberapa pertanyaan tentang bagaimana dia membunuh Lennon.
Chapman juga mengakui bahwa dirinya mempertimbangkan sejumlah tokoh terkenal lainnya sebagai target sebelum akhirnya memilih Lennon.
"Tidak diragukan lagi bahwa dia merasa damai sejak Tuhan memerintahkan dia untuk mengaku bersalah," kata Marks.
“Dia menjadi lebih tenang, dia benar-benar menyesal terhadap keluarga John Lennon. Dia telah menggunakan obat penenang dalam dosis lebih sedikit sejak 1 Juni dan dia tidak lagi percaya bahwa dia adalah The Catcher in the Rye'” ucapnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.