Berdasarkan verifikasi Kompas.com sejauh ini, informasi ini tidak benar.
Produk ini mengandung organisme hasil rekayasa genetika (GMO) babi.
Vaksin berasal dr monyet, babi, sel ginjal manusia, dan bahan2 racun.
Terdapat beberapa poin yang perlu diluruskan dari narasi tersebut. Terutama mengenai klaim yang mengaitkan vaksin Covid-19 AstraZeneca dengan wabah cacar monyet dan hepatitis mematikan pada anak-anak.
Dikutip dari laman Departemen Kesehatan Pemerintah Australia, betul bahwa vaksin AstraZeneca menggunakan vektor vaksin adenovirus simpanse.
Ini merupakan adenovirus lemah yang tidak berbahaya yang biasanya menyebabkan flu biasa pada simpanse. Adenovirus telah diubah secara genetik sehingga tidak mungkin untuk tumbuh pada manusia.
Vektor vaksin adenovirus, yang dikenal sebagai ChAdOx1, dipilih sebagai teknologi vaksin yang cocok untuk vaksin SARS-CoV-2 karena telah terbukti menghasilkan respons imun yang kuat dari satu dosis pada vaksin lain.
Adapun vektor adenoviral simpanse adalah jenis vaksin yang dipelajari dengan cermat, dan telah digunakan dengan aman pada ribuan subjek.
Vaksin yang dikembangkan oleh Universitas Oxford dan akhirnya diproduksi oleh AstraZeneca ini sempat menerbitkan makalah studi penelitian pra-klinis untuk menunjukkan efektivitas vaksin dalam studi praklinis sebelum pindah ke uji coba pada manusia.
Dikutip dari Fullfact.org, 26 November 2020, betul bahwa lini sel produsen HEK 293 TREX digunakan dalam pembuatan vaksin. Sel ini berasal dari sel-sel ginjal dari janin perempuan yang diaborsi pada 1970-an.
Universitas Oxford mengatakan, janin di mana sel MRC-5 berkembang biak adalah hasil dari aborsi legal yang disetujui oleh perempuan tersebut, dan tidak dilakukan untuk tujuan pengembangan vaksin secara khusus.
Adapun komposisi vaksin yang tertera pada foto yang diunggah sebagian besar sama dengan informasi komponen vaksin yang diinformasikan laman pemerintah Inggris berikut ini.
Terkait heptitis akut, juru bicara satuan tugas Covid-19 Rumah Sakit (RS) Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, dr Tonang Dwi Ardyanto, SpPK(K), PhD menjelaskan bahwa tidak ada kaitannya dengan vaksin.
"Vaksin itu banyak gunanya. Jauh lebih banyak daripada risikonya. Dalam jurnal yang disebut-sebut sebagai bukti efek vaksin terhadap hepatitis itu pun ada dinyatakan demikian," kata Tonang, dikutip dari Kompas.com, Selasa (10/5/2022).
Apabila ditemukan kasus autoimun pada orang tertentu, yang dikaitkan dengan kejadian pasca imunisasi (KIPI), menurut Tongang perlu memepertimbangkan riwayat autoimun pasien dan keluarganya.
Skrining riwayat penyakit autoimun ini berlaku tidak hanya untuk vaksin Covid-19 tetapi juga vaksin lainnya.
Vaksinasi memang salah satu tujuannya yakni membentuk sel T yang spesifik untuk virus Covid-19.