KOMPAS.com - Hoaks mengenai pencalonan presiden dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) telah beredar saat ini, jauh sebelum hari-H pencoblosan.
Padahal, Pemilihan Presiden 2024 baru berlangsung dua tahun mendatang.
Salah satu hoaks itu menyebutkan, Gubernur Jawa Tengah yang juga kader PDI-P, Ganjar Pranowo, telah ditetapkan oleh Ketua Umum Megawati Soekarnoputri sebagai calon presiden.
Hoaks itu bisa dibaca di sini: [HOAKS] Megawati Memutuskan Ganjar sebagai Capres yang Diusung PDI-P
Ada juga hoaks yang menyatakan sebaliknya, yaitu Ganjar disebut telah keluar dari PDI-P, karena tidak dianggap oleh partai, contohnya bisa baca di sini: [HOAKS] Tidak Dianggap di Partai, Ganjar Pranowo Keluar dari PDI-P
Anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Fritz Edward Siregar mengatakan, ujaran kebencian dan hoaks memang marak menjelang pemilu, baik di tingkat pusat maupun daerah.
Bahkan jelang pemilu, kampanye hitam melalui media sosial (medsos) selalu menjadi tren nomor satu di Indonesia sebagaimana dikutip dari situs resmi Bawaslu.
"Jadi harus kita lihat percakapan yang terjadi di medsos merupakan sebuah genuine (asli) atau fabricated (buatan), jadi itu yang menurut saya yang harus dibedakan," tutur Fritz dalam sebuah diskusi dengan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem).
Dalam kesempatan lain, dia mengatakan, penurunan atau penghapusan konten hoaks merupakan penanganan yang tidak menyelesaikan masalah sampai akarnya.
Langkah hukum yang diambil, dengan berkolaborasi dengan Polri, diharapkannya bisa mengurangi produksi konten hoaks dan ujaran kebencian tersebut agar lebih signifikan.
Adapun pengamat Politik Universitas Paramadina Hendri Satrio mengatakan, harus bisa dibedakan antara opini yang menjadi bunga-bunga demokrasi, dengan informasi palsu atau hoaks.
Dia menjelaskan, masyarakat yang berpendapat siapa yang layak menjadi presiden atau capres menjadi salah satu bunga-bunga demokrasi. Namun kalau terjadi hoaks, bisa mengganggu kesehatan demokrasi itu sendiri.
Dengan demikian, penting bagi tokoh-tokoh politik untuk berkomitmen tidak menggunakan hoaks dalam upayanya mengejar kursi kekuasaan.
"Kalau hoaks, itu harusnya sih setiap politikus menjamin bahwa tidak akan melakukan hoaks-hoaks, karena mempengaruhi sehat atau tidaknya demokrasi di Indonesia," kata Hendri melalui telepon, Senin (20/6/2022).
Di sisi lain, menurut dia, cukup sulit untuk melakukan penanganan hukum pada politikus atau pemain yang menggunakan hoaks untuk menggiring opini masyarakat.
Edukasi pada masyarakat dalam menyikapi informasi, kata Hendri, menjadi pilihan yang paling memungkinkan untuk meningkatkan kesehatan dan kualitas demokrasi.
Menurut dia, edukasi itu bisa dilakukan dengan mendorong masyarakat untuk selalu mengecek kembali informasi yang didapatkannya dan lebih mengandalkan media formal.
"Kita edukasi masyarakat supaya tidak lagi terjebak hoaks, check and recheck itu kan paling gampang. Jadi kalau mengharapkan politisi atau pemain, itu susah, karena kita juga sulit membuktikannya," ujar Hendri.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.