KOMPAS.com - Istilah "fake news'"atau berita palsu, menjadi populer ketika pemilihan presiden (pilpres) Amerika Serikat (AS) pada 2016.
Isitilah ini dimanfaatkan secara politis oleh salah satu kubu capres, untuk mendiskreditkan berita yang bertentangan dengannya.
Penggunaan istilah "berita palsu" berpotensi membawa krisis bagi jurnalisme. Terutama ketika istilah ini diartikan dengan lugas.
Ini karena "berita" dalam jurnalisme berarti informasi yang telah terverifikasi kebenarannya dan diterbitkan untuk kepentingan publik.
Informasi yang tidak memenuhi standar ini tidak layak diberi label berita.
Dalam pengertian ini, "berita palsu" jadi sebuah hal yang oksimoron dan bisa merusak kredibilitas informasi yang memang memenuhi disiplin verifikasi dan diperuntukkan bagi kepentingan publik.
Baca juga: Berita Palsu Jurnalis Stephen Glass dan Pentingnya Kerja Pemeriksa Fakta...
Melansir buku Journalism, "Fake News" & Disinformation (2018) terbitan UNESCO, "berita palsu" merupakan salah satu ragam dari sebaran informasi palsu.
Dalam konteks disinformasi dan misinformasi saat ini, bahaya utamanya bukanlah jurnalisme yang tidak dapat dipertanggungjawabkan, tetapi publik yang menjadi bingung dan tidak percaya pada semua konten, termasuk jurnalisme.
Penyebar teori konspirasi kerap menuding media sebagai antek atau tidak independen, demi membenarkan narasi mereka.
Meskipun arena utama disinformasi adalah media sosial, aktor-aktor berpengaruh menggunakan istilah "berita palsu" untuk menekan media yang menyuguhkan "berita asli".
Baca juga: Sejarah Hoaks, Sudah Ada sejak Abad Ke-16, dari Kekeliruan hingga Parodi
Dengan skenario semacam ini, orang kemudian cenderung menganggap kredibel konten apa pun yang mereka peroleh dari jejaring sosial mereka, serta yang sesuai dengan keinginan mereka.
Contoh paling konkret yakni berkurangnya kepercayaan publik terhadap informasi kesehatan dan ilmu pengetahuan terkait pandemi Covid-19.