KOMPAS.com - Perang Irak-Kuwait atau disebut juga Perang Teluk Persia adalah konflik internasional yang terjadi pada 1990-1991.
Melansir Britannica, perang ini bermula pada 2 Agustus 1990 ketika pemimpin Irak, Saddam Hussein, memerintahkan militer Irak menyerbu Kuwait.
Saddam Hussein memiliki dua tujuan yang ingin dicapai dari serangan tersebut. Pertama, merebut dan menguasai cadangan minyak luar biasa yang dimiliki Kuwait, dan dengan demikian menghapuskan utang yang dimiliki Irak terhadap Kuwait.
Untuk diketahui, pada saat itu Irak berutang kepada Kuwait untuk mendanai perang melawan Iran yang berlangsung dari tahun 1980 hingga 1988.
Baca juga: Berita Palsu Jurnalis Stephen Glass dan Pentingnya Kerja Pemeriksa Fakta...
Dalam perang Irak-Iran, Saddam Hussein dibiayai oleh Arab Saudi, Kuwait, dan negara-negara Arab lainnya, serta diam-diam didukung oleh Amerika Serikat dan Uni Soviet.
Namun, dukungan itu berbalik ketika Irak menginvasi Kuwait.
Perang Teluk Persia berakhir setelah pasukan gabungan yang terdiri dari Amerika Serikat, Inggris, Perancis, Mesir dan sejumlah negara memukul mundur Irak dari wilayah Kuwait.
Pemicu keterlibatan Amerika Serikat
Irak memiliki kekuatan tempur jauh di atas Kuwait. Pasukan Saddam Hussein adalah kekuatan tempur terbesar kelima di dunia pada masa itu.
Irak memiliki 950.000 tentara, 5.500 tank, 10.000 kendaraan lapis baja, dan hampir 4.000 artileri. Di udara, Irak juga didukung oleh 689 pesawat tempur dan 40.000 personil.
Kuwait jelas tidak sanggup melawan Irak. Oleh karena itu, mereka mencoba menarik simpati internasional, terutama Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya.
Selama invasi Kuwait, tentara Irak terbukti melakukan penjarahan, pemerkosaan, penyiksaan, pembunuhan, dan pencurian aset ekonomi secara sistematis.
Akan tetapi, AS butuh alasan yang lebih kuat untuk mengerahkan pasukannya maupun menggalang dukungan dari sekutunya untuk terlibat dalam Perang Irak-Kuwait.
Baca juga: Nama Teddy Bear Terinspirasi dari Presiden AS Theodore Roosevelt
Kebuntuan itu akhirnya terpecahkan dua bulan setelah invasi Irak ke Kuwait, melalui kesaksian seorang gadis Kuwait berusia 15 tahun bernama Nayirah.
Pada 10 Oktober 1990, Nayirah bersaksi di hadapan Kongres AS mengenai kekejaman tentara Irak ketika menginvasi Kuwait.