KOMPAS.com - Hoaks seputar pandemi, vaksinasi, scamming, bahkan isu politik jelang Pemilihan Presiden atau Pilpres 2024 diperkirakan akan muncul pada tahun ini.
Melihat sebaran hoaks sepanjang 2021, ada sejumlah informasi keliru yang masih saja beredar di masyarakat melalui media sosial atau sumber lainnya.
Berikut sejumlah hoaks yang diperkirakan akan bermunculan di 2022:
Sekretaris Jenderal Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, Ika Ningtyas berpendapat, hoaks seputar pandemi Covid-19 masih akan bermunculan di 2022, terutama tentang varian baru virus corona yang ramai diperbincangkan.
"Potensi hoaks yang masih akan beredar itu pertama soal Covid-19. Khususnya soal Omicron, karena memang trennya sedang naik secara global, termasuk di Indonesia," ujar Ika kepada Kompas.com, Rabu (5/1/2022).
Baca juga: [Fakta Bicara] Berbagai Hoaks Seputar Varian Omicron, Ini Bantahannya
Hoaks terkait varian Omicron ini ada beragam, mulai dari gejala yang ditimbulkan, tingkat keparahan, bahkan dikaitkan dengan konteks-konteks yang tidak relevan dengan Covid-19, seperti film, game, dan sebagainya.
Beredarnya hoaks semacam itu juga dilatarbelakangi oleh beredarnya teori konspirasi di media sosial yang lebih dipercaya masyarakat, dibanding informasi di media yang berbasis fakta dan verifikasi.
"November-Desember mulai bermunculan dan kemungkinan masih akan berlanjut sampai tahun ini," ucap Ika.
Bersamaan dengan dimulainya program vaksinasi untuk di usia di bawah 12 tahun, khususnya 6-11 tahun di Indonesia, Ika menilai, hoaks seputar vaksinasi diperkirakan akan bermunculan.
"Kita melihat trennya memang sejak BPOM mengeluarkan izin darurat vaksin Sinovac itu," ujar Ika.
Hoaks ini juga berkaitan erat dengan teori konspirasi yang menyebut bahwa pandemi Covid-19 adalah sesuatu yang direncanakan.
Baca juga: INFOGRAFIK: Syarat dan Cara Daftar Vaksinasi Covid-19 untuk Anak
Narasi itu kerap disertai keterlibatan elit global, bahkan rencana pemusnahan ras tertentu. Informasi semacam ini, menurut Ika, menimbulkan keragu-raguan di masyarakat.
"Melihat peredarannya, masif sekali ya penolakan dan keragu-raguan terutama dari masayarakat, karena dipicu karena banyaknya konten hoaks di media sosial," tutur Ika.
Hal ini berdampak buruk bagi penanganan pandemi karena memperlambat target cakupan vaksinasi.
Terkait hoaks Covid-19, Ika menilai ada banyak pihak yang memanfaatkan kerentanan ekonomi masyarakat di masa pandemi dengan menyebarkan penipuan berkedok bantuan, hadiah, paket data, dan sejenisnya.
Penipuan ini biasanya mucul dalam bentuk link phising dan scamming yang mengatasnamakan pemerintah, bank, jasa pengiriman barang, badan usaha milik negara (BUMN), bahkan perusahaan lainnya.
"Ketika 2020, pandemi mulai, diikuti dengan krisis ekonomi di berbagai sektor, itu kemudian dimanfaatkan oleh beberapa pihak untuk memanipulasi publik dengan konten bantuan," ujar dia.
Baca juga: [HOAKS] Bantuan Rp 1,2 Juta untuk Nasabah BRI dan BNI
Penipuan ini bisa berujung pada pinjaman online (pinjol), hingga pencurian data.
Adapun tindakan pencurian data bisa menimbulkan kerugian yang tidak terbatas bagi masyarakat. Mengingat akses di sektor keuangan, kesehatan, dan sektor penting lainnya menggunakan data-data pribadi sebagai validasi.
"Begitu ada konten dengan narasi memberikan bantuan apa pun, mulai uang tunai dan bantuan pulsa itu berpotensi sekali memanipulasi publik," kata Ika.
Semakin mendekati tahun Pilpres, akan semakin banyak hoaks yang mencatut nama-nama tokoh tertentu yang diperkirakan maju di Pilpres 2024.
"Meskipun Pilpres Indonesia masih 2 tahun lagi, tapi itu sudah mulai kita rasakan sejak tahun kemarin 2021. Sudah mulai bermunculan tokoh-tokoh yang kemungkinan akan running di Pilpres. Ini udah mulai banyak juga misinformasi soal isu politik baik terhadap beberapa tokoh dan sebagainya," jelas Ika.
Misalnya, hoaks yang mengaitkan tokoh tertentu sebagai penyebab banjir. Hoaks semacam ini bisanya digunakan untuk menjatuhkan citra dari lawan politik dari kubu tertentu.
Baca juga: AJI Nilai Pelabelan Hoaks ke Karya Jurnalistik Jadi Tantangan Media pada 2022
Melihat tren hoaks yang diperkirakan muncul sepanjang tahun ini, Ika mengatakan, untuk mencegah kerugian akibat hoaks, maka perlu ada peningkatan literasi digital.
"Ini menyangkut literasi digital juga, khususnya aspek keamanan digital, banyak yang masih awam dengan hal ini," ujar dia.
Menurut Ika, media juga berperan dalam memberikan edukasi dan literasi digital kepada masyarakat. Terutama media di lanskap daring.
"Untuk meningkatkan kepercayaan di media, tentunya media harus tampil berkualitas juga. Menghindari clickbait, berita-berita yang tidak melalui verifikasi. Kadang ketidakpercayaan masyarakat itu kan datang dari berita-berita seperti itu," ujar Ika.
Rata-rata, korban hoaks sulit membedakan situs atau sumber mana saja yang bisa dipercaya kebenarannya.
Sebagian lagi tidak tahu link-link atau kedok apa saja yang biasanya dipakai untuk scaming atau pencurian data pribadi.
Tidak ada solusi tunggal untuk menjawab persoalan ini. Selain media, pemerintah, organisasi masayarakat sipil, perguruan tinggi, atau lembaga lain yang memiliki basis masa yang kuat di akar rumput, harus bekerja sama mengkampanyekan literasi digital.
"Kerja-kerja seperti ini memang membutuhkan kerja bersama. Seperti tadi, pemerintah mungkin mulai menerapkan kurikulum literasi digital di sekolah formal atau pendidkan formal," kata dia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.