KOMPAS.com - Sebuah bom atom yang dinamai Fat Man dijatuhkan militer Amerika Serikat (AS) di Kota Nagasaki, Jepang, pukul 11.02 waktu setempat, pada 9 Agustus 1945 atau 77 tahun yang lalu.
Pagi sebelumnya, memang ada peringatan akan ada serangan udara. Militer AS juga sudah menyebarkan selebaran peringatan dalam pertempuran di akhir Perang Dunia II itu.
Reiko Hada, gadis berusia sembilan tahun, warga Kota Nagasaki, memilih tetap tinggal di rumah karena peringatan-peringatan itu.
Peringatan serangan yang sering disampaikan membuatnya tidak berangkat sekolah. Anak-anak lebih memilih belajar di kuil terdekat.
Dilansir dari BBC, Reiko sempat mengikuti kegiatan belajar di kuil terdekat dari rumahnya, selama sekitar 40 menit. Ia pulang setelah kegiatan dibubarkan.
Dia menuturkan sudah berhasil tiba di pintu masuk rumah, bahkan sudah melangkah masuk.
"Kemudian itu terjadi secara tiba-tiba. Cahaya yang menyala-nyala melintas di mataku. Warnanya kuning, khaki dan oranye, semuanya bercampur menjadi satu."
"Saya bahkan tidak punya waktu untuk bertanya-tanya apa itu... Dalam waktu singkat, semuanya menjadi benar-benar putih."
Dia menuturkan, saat itu merasa seperti ditinggalkan sendirian. Apalagi, kejadian berikutnya adalah terdengar suara gemuruh yang keras.
Tak berapa lama, Reiko pun pingsan.
Luluh lantak
Guru di tempatnya belajar telah mengajari cara menyikapi serangan seperti itu, yakni dengan segera pergi ke tempat perlindungan dari serangan udara.
Setelah sadar, ia pun langsung masuk rumah dan pergi ke tempat perlindungan bersama ibunya.
"Saya tidak memiliki satu goresan pun. Saya telah diselamatkan oleh Gunung Konpira. Tetapi berbeda dengan orang-orang di sisi lain gunung, mereka menderita kondisi yang mengerikan," ujar Reiko.
Gadis sembilan tahun itu harus menyaksikan bangunan-bangunan luluh lantak, orang-orang telanjang dengan kulit terkelupas berlari mendekat ke tempat perlindungan itu.
Mereka mengalami luka bakar yang fatal. Ibu Reiko dan perempuan-perempuan lain menyambut mereka dan membawa mereka ke auditorium sebuah kampus swasta.
Mereka juga mengambil handuk dan seprei untuk melakukan pertolongan yang bisa dilakukan. Reiko sendiri kebagian tugas mengambil air untuk minum para korban.
"Mereka meminta air. Saya diminta untuk memberi mereka air, jadi saya menemukan mangkuk yang pecah dan pergi ke sungai terdekat dan mengambil air untuk membiarkan mereka minum," kata dia.
Namun mereka tetap tak tertolong dan meninggal setelah minum air yang dibawakannya. Satu demi satu meninggal pada musim panas pada 1945 itu, hingga memunculkan belatung serta bau yang menyengat.
Orang-orang membakar jenazah korban meninggal dengan kayu bekas reruntuhan di kolam renang kampus tersebut.
"Mustahil untuk mengetahui siapa orang-orang itu. Mereka tidak mati seperti manusia," ucap Reiko.
Meninggalnya puluhan ribu orang
Dilansir dari History.com, Nagasaki saat itu adalah pusat pembuatan kapal dan kota industri di Jepang. Kota itu menjadi sasaran penjatuhan bom atom dengan kekuatan setara 22.000 ton TNT.
Meskipun bukit-bukit yang mengelilinginya berkontribusi meminimalisasi kerusakan, tetap saja serangan itu mengakibatkan tewasnya sekitar 60.000 hingga 80.000 orang.
Jumlah pasti korban tidak mungkin lagi ditelusuri karena banyak jenazah lenyap tak bersisa, termasuk segala bentuk catatan kependudukan atau pekerja di sana.
Bagi Reiko, tragedi itu menjadi lekatan ingatan yang membuatnya berharap tidak ada lagi korban akibat senjata nuklir.
“Saya berharap generasi mendatang tidak akan pernah mengalami pengalaman serupa. Kita tidak boleh membiarkan (senjata nuklir) ini digunakan," kata Reiko lagi.
"Orang-oranglah yang menciptakan perdamaian. Bahkan jika kita tinggal di negara yang berbeda dan berbicara dalam bahasa yang berbeda, keinginan kita untuk perdamaian adalah sama."
https://www.kompas.com/cekfakta/read/2022/08/09/155000782/kisah-reiko-hada-gadis-yang-selamat-dari-bom-atom-di-nagasaki-1945