Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Jaya Suprana
Pendiri Sanggar Pemelajaran Kemanusiaan

Penulis adalah pendiri Sanggar Pemelajaran Kemanusiaan.

Tragedi Kemanusiaan 28 September 2016

Kompas.com - 28/09/2023, 18:09 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

SAYA menulis naskah sederhana ini pada 28 September 2023, yang berarti tepat tujuh tahun setelah peristiwa Tragedi Kemanusiaan 28 September 2016.

Tragedi Kemanusiaan 28 September 2016 yang terjadi di kawasan Buki Duri, Jakarta, menurut Prof Mahfud MD dan Prof Yasonna Laoly merupakan peristiwa pelanggaran hukum secara sempurna sebab tanah dan bangunan yang digusur masih dalam proses hukum di Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tata Usaha Negata.

Di samping melanggar hukum secara sempurna, peristiwa Tragedi Kemanusiaan Bukit Duri 28 September 2016, juga merupakan pelanggaran Hak Asasi Manusia sekaligus juga pelanggaran sila ke dua Pancasila, yaitu Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab.

Tragedi Kemanusiaan Bukit Duri 28 September 2016, sangat memukul sukma lahir-batin saya sebab dengan mata di kepala sendiri saya terpaksa menyaksikan betapa ratusan sesama warga Indonesia digusur paksa secara sempurna melanggar hukum, HAM dan Pancasila.

Saya tidak berdaya melawan bulldozer dikawal polisi dan TNI perkasa merobohkan segenap gubuk yang dihuni oleh ratusan sesama warga Indonesia yang secara turun menurun telah bermukim di bantaran kali Ciliwung.

Memang PN dan PTUN bahkan pengadilan tinggi telah berpihak ke masyarakat Bukit Duri, namun sayang terlambat sebab penggusuran sudah dipaksakan terlaksana pada saat tanah dan rumah yang digusur masih dalam proses hukum.

Saya tidak berdaya apapun dalam menghadapi penggusuran atas nama pembangunan infrastruktur di mana pelaksana pembangunan melakukan penggusuran atas keyakinan bahwa pembangunan memang mutlak membutuhkan pengorbanan asal yang dikorbankan justru rakyat yang tidak memiliki kemampuan, apalagi kekuasaan apa pun untuk melawan penggusuran secara sempurna melanggar hukum, HAM dan Pancasila.

Rasa prihatin makin mencengkam lubuk sanubari sebab pada kenyataan ternyata penggusuran rakyat secara paksa atas nama pembangunan infrastruktur masih terus berlanjut terjadi di Tulang Bawang, Kanipan, Kendeng, Wadas, Tulang Bawang, Papuan, Rempang dan lain sebagainya.

Masih begitu banyak gaung amanat penderitaan rakyat miskin dan masyarakat adat tergusur terdengar menggema akibat konflik agraria di berbagai pelosok Nusantara masa kini.

Maka dari lubuk sanubari terdalam pula saya berharap agar Presiden Jokowi yang telah berulang kali menegaskan tidak setuju rakyat digusur secara paksa atas nama pembangunan infrastruktur sebab beliau sendiri pada masa kanak-kanak telah tiga kali mengalami derita digusur atas nama pembangunan infrastruktur di Kota Solo, berkenan tak jemu senantiasa mengingatkan para pelaksana pembangunan infrastruktur untuk mematuhi sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, HAM, UUD 1945 serta agenda Pembangunan Berkelanjutan PBB sebagai pedoman Pembangunan planet bumi abad XXI tanpa menyengsarakan rakyat.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com