Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Jaya Suprana
Pendiri Sanggar Pemelajaran Kemanusiaan

Penulis adalah pendiri Sanggar Pemelajaran Kemanusiaan.

Matematika dan Iptek

Kompas.com - 27/06/2023, 20:17 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

TOKOH ilmuwan aeronautika merangkap Presiden III Republik Indonesia, Burhanuddin Jusuf Habibie yang tersohor sebagai Mr. Crack, penggagas teori keretakan pada pesawat terbang, lebih mantap menggunakan istilah Iptek sebagai akronim ilmu pengetahuan dan teknologi, ketimbang istilah sains sebagai peng-Indonesiaan istilah “science”.

Pak Habibie sebagai lulusan magna summa cum laude (maaf, istilah gabungan magna dengan summa ini bikinan saya sendiri sebagai ungkapan rasa hormat saya kepada Pak Habibie) dari Rheinisch-Westfaelische Technische Hochschule Aachen, Jerman, pastinya memiliki alasan tersendiri apalagi mengingat bangsa Jerman juga lebih suka menggunakan terminologi Wissenschaft ketimbang istilah bahasa Inggris: science.

Terminologi science baru mulai dikenal dan digunakan pada abad XIV terbatas pada arti “knowledge”, “learning” atau “applied skill” berasal dari bahasa Perancis Kuno yang berasal dari bahasa Latin: scientia sebagai feminisasi “kearifan” yang berasal dari gabungan bahasa Latin “sapienta” dan bahasa Yunani “sophia”.

Di masyarakat Anglo-Saxon, kata science semula lebih bermakna ke arah “natural philosophy”. Seusai Perang Dunia II, terutama oleh Amerika Serikat yang menang perang dengan mengimpor penemuan para Wissenschaftler Jerman, istilah science mulai digunakan dalam arti yang kemudian popular ke seluruh dunia termasuk Indonesia.

Saya pribadi memiliki keyakinan subyektif dan subversif yang silakan dibantah bahwa apa yang disebut sebagai matematika memegang peran penting untuk menghindari istilah “paling penting” dalam keterkaitan dengan apa yang disebut sebagai sains yang lebih mantap disebut sebagai Iptek oleh pak Habibie.

Proses asimilasi pemikiran Yunani kuno dan Al Hikmah Islamiah ke Eropa pada kurun abad X sampai dengan XIII kembali melahirkan semangat pembelajaran filosofi natural peradaban Barat yang kemudian disebut sebagai Rennaisance.

Pada masa revolusi Iptek abad XVI sampai dengan XVII, lahirlah gagasan-gagasan iptekal baru yang lebih cenderung mekanistik serta lebih terintegrasi dengan matematika.

Revolusi Kimia pada abad XVIII memperkenalkan metode kuantitatif dan pengukuran yang mustahil dilakukan tanpa matematika.

Disusul perspektif baru terkait konservasi energi yang mutlak membutuhkan dukungan matematika, yang pada abad XX yang meletakkan subdisiplin genetika serta fisika dalam bentuk biologi molekular serta fisika partikel.

Kebutuhan industrial dan militer di samping makin kekompleksitasan riset pasca-Perang Dunia II menuntut peran serta dan dukungan matematika untuk mampu mengembangkan apa yang disebut sebagai “Big Science” melengkapi “Big Data”.

Pada hakikatnya segenap fakta sejarah peradaban itu seiring-sejalan dengan keyakinan subyektif saya pribadi bahwa apa yang disebut sebagai matematika memang memegang peran penting demi menghindari istilah bombastis beraroma arogansi “paling penting” dalam keterkaitan dengan apa yang disebut sebagai sains, yang lebih mantap disebut sebagai Iptek oleh Pak Habibie.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com