KETIKA mendengar kata ilmuwan (scientist), pikiran kita langsung tertuju pada institusi perguruan tinggi atau lembaga riset. Dua organisasi ini memang pusatnya produksi pengetahuan mengingat peran vital keduanya adalah memberikan pencerahan bagi masyarakat.
Scientist leadership (kepemimpinan ilmuwan) merupakan kepemimpinan yang diterapkan oleh ilmuwan dalam mengelola proyek penelitian atau tim riset. Ini termasuk bagaimana seseorang mampu mengoordinasikan aktivitas penelitian, mengatur anggaran, mengelola, dan mentransfer pengetahuan, serta mengembangkan dan mengevaluasi strategi penelitian.
Contoh dari seorang scientist leader adalah Dr Jane Smith, ilmuwan biologi yang memimpin tim riset di sebuah laboratorium di universitas. Dia mengoordinasikan aktivitas penelitian timnya untuk mengejar tujuan penelitian yang ditentukan, mengelola anggaran laboratorium, serta mengembangkan dan mengevaluasi strategi penelitian yang digunakan timnya.
Baca juga: Pentingnya E-Leadership Menyambut 2023
Dia juga mengajukan grant dan mempresentasikan hasil penelitian timnya di konferensi ilmiah dan publikasi ilmiah. Namun, pemimpin ilmuwan tidak hanya terpusat di lembaga riset dan perguruan tinggi, tetapi juga ada yang berkontribusi di sektor bisnis.
Saat ini, banyak perusahaan, terutama perusahaan teknologi, mempekerjakan ilmuwan untuk membuat terobosan penting. Mungkin kita pernah mendengar DeepMind. Ilmuwan di organisasi naungan Alphabet ini punya banyak terobosan yang menarik. Salah satunya, teknologi yang memungkinkan penderita ALS bisa berkomunikasi.
Para scientist leaders tentu tidak bekerja sendiri dalam memproduksi ilmu pengetahuan. Scientist leaders banyak melakukan kolaborasi diskusi dan bekerja dengan tim dari beragam latar belakang.
Ada proses kepemimpinan dalam membuat terobosan. Seperti yang dikatakan White, et al. (2019) bahwa kepemimpinan dalam ilmu mencakup kemampuan untuk memimpin tim yang beragam dan menciptakan budaya inklusif agar semua orang bisa berkontribusi dengan maksimal.
Tujuannya supaya menciptakan ilmu dan pemahaman baru bagi masyarakat. Proses penciptaan ilmu pengetahuan baru melibatkan proses kreatif, berpikir kritis, dan kolaborasi.
Kita bisa melihat kehidupan para filsuf di era kuno. Aristoteles, Plato, Sokrates dalam kegiatan menghasilkan perspektif baru kerap berdiskusi dengan banyak orang. Mereka dikenal sebagai filsuf jalanan karena kebiasaannya mengajak siapapun untuk berdiskusi.
Atau misalnya dalam era pencerahan, kita mengenal Leonardo da Vinci. Sosoknya memang terkenal sebagai pelukis Mona Lisa, salah satu lukisan termasyhur di dunia. Namun begitu, Leonardo juga menyumbangkan berbagai pemikirannya di bidang sains. Dalam prosesnya, Da Vinci berdiskusi sama banyak orang dari berbagai latar belakang serta selalu penasaran terhadap setiap hal. Ini pun semakin terlihat di era sekarang, saat ada banyak kolaborasi yang dilakukan para ilmuwan.
Menurut Jones (2008), dengan keilmuan yang terspesialisasi, bekerja sama dengan ilmuwan lain akan memperluas khazanah pengetahuan. Selain itu, pemimpin ilmuwan di perguruan tinggi banyak melakukan kerja sama riset dengan perguruan tinggi lainnya.
Misalnya, Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran bekerja sama dengan Universitas Tsukuba dari Jepang untuk mengembangkan tomat yang toleran terhadap panas. Tak hanya antar perguruan tinggi, lembaga riset dan perguruan tinggi juga intens melakukan kerja sama dengan perusahaan swasta. Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) dan PT Martina Berto Tbk melakukan kolaborasi riset untuk pelestarian tumbuhan yang ada di Nusantara.
Dari fenomena ini, saya berpendapat, scientist leader adalah orang yang memiliki tugas moral untuk memproduksi pengetahuan yang berguna dan mampu menjadi solusi masalah di masyarakat, baik itu dilakukan secara perorangan maupun kolaborasi. Pemimpin ilmuwan pun tidak terbatas di perguruan tinggi dan lembaga riset, namun juga bisnis
Terlepas dari afiliasi, pemimpin ilmuwan punya tugas mulia. Ia harus jadi pencerah dan pemecah masalah masyarakat di segala situasi. Banyak yang menaruh harapannya pada scientist leader, baik itu di perguruan tinggi maupun dunia bisnis, untuk segera menghasilkan solusi.
Cukup banyak terobosan yang ditelurkan ilmuwan nasional maupun global. Dari Indonesia, ada Khoirul Anwar. Lulusan Nara Institute of Science and Technology di Jepang ini menciptakan konsep dua Fast Fourier Transform yang digunakan dalam teknologi 4G LTE. Terobosannya itu dipatenkan tahun 2005.