Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Arif Nurdiansah
Peneliti tata kelola pemerintahan

Peneliti tata kelola pemerintahan pada lembaga Kemitraan/Partnership (www.kemitraan.or.id).

Demokrasi Kopi

Kompas.com - 19/12/2022, 16:39 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

WAJAH demokrasi kita hari ini menjadi tantangan besar selaku negara demokrasi terbesar ketiga di dunia, setelah Amerika Serikat (AS) dan India. Praktik berdemokrasi kita dianggap mengalami kemunduran.

Indikatornya, kebebasan berpendapat tidak lagi dijunjung tinggi, serta proses pembuatan kebijakan cenderung kurang melibatkan publik.

Kualitas serupa juga dialami oleh daerah. Aceh misalnya. Alih-alih menyejahterakan, kebijakan otonomi khusus yang menjadikannya wilayah yang diberi kewenangan lebih dibanding dengan daerah lain di Indonesia, justru belum mampu melaju dan menjadi provinsi termiskin di Sumatera (BPS, 2021).

Baca juga: Jokowi: Pemilu 2024 Akan Jadi Pesta Demokrasi Terbesar dalam Sejarah, Hati-hati, Mungkin Berat...

Kualitas demokrasinya dianggap sungsang (harian Kompas, 5/4/2021). Kondisi ini menyulitkan saya, saat diminta menyampaikan materi demokrasi kepada perwakilan anak muda Aceh di acara Muda Melangkah.

Jika menggunakan strategi yang sama saat menjelaskan apa itu demokrasi di depan anak muda Sumatera Barat (lihat Negeri Para Demokrat), penulis khawatir diskusi berakhir dengan menguatnya apatisme anak muda terhadap masa depan demokrasi di Aceh, juga Indonesia.

Melihat dari Dekat

Saya mengingat kembali apa yang identik dengan masyarakat Aceh saat bekerja pasca-tsunami tahun 2006. Salah satunya adalah kedai kopi yang berjejer dengan kursi platik ikonik yang diduduki oleh laki-laki yang sedang menikmati kopi, baik pagi, siang, sore bahkan malam hari.

Saya menghubungkan demokrasi dan kopi. Karena saya percaya, mengomunikasikan sesuatu akan lebih efektif jika menggunakan bahasan yang telah dikenal dan dekat dengan keseharian, dalam hal ini kopi.

Setelah melakukan riset, sedikitnya ada tiga persamaan antara demokrasi dan kopi di Indonesia. Pertama, iklim tropis menjadikan kita sebagai eksportir kopi terbesar ketiga di dunia, setelah Brasil dan Vietnam. Predikat ini sama dengan demokrasi.

Kedua, demokrasi di awal keberadaannya jauh dari pelibatan perempuan. Momentum tonggak menguatnya demokrasi di Prancis dan Eropa tahun 1848 pun hanya memberikan hak pilih kepada laki-laki.

Setali tiga uang, masih ada larangan bagi perempuan menikmati kopi hingga kini di Aceh dengan berbagai alasan. Satu di antaranya karena faktor kesehatan yang berkaitan dengan kesuburan.

Tahun 2017, saat ekspedisi kopi, jurnalis perempuan Kompas tidak disuguhi kopi ketika bertandang ke rumah salah satu penemu varietas kopi di Takengon. Ceritanya terdokumentasikan dalam liputan ekspedisi kopi di harian Kompas bulan November tahun ini, dengan judul Perempuan yang Tidak Mendapat Segelas Kopi.

Ketiga, hasil kajian terhadap kualitas demokrasi di Indonesia kian memprihatinkan. Salah satu penyebabnya menurut survei harian Kompas (2022) akibat dari maraknya korupsi. Demikian juga dengan kopi, Business Insider memprediksi produksi kopi di dunia menurun drastis beberapa dekade ke depan akibat dari dampak perubahan iklim.

Kondisi ini jelas merugikan Indonesia karena berpotensi kehilangan sumber devisa. Kekeringan dan kebakaran lahan gambut beberapa dekade terakhir mengancam salah satu varian kopi dari Indonesia, yakni liberica.

Baca juga: Menlu Retno: Demokrasi Bantu Hadapi Tantangan Sulit pada 2023

Nasib serupa juga dialami oleh demokrasi. Eksistensinya kian dipertanyakan. Tidak hanya di Indonesia, bahkan demokrasi di dunia juga mengalami ancaman yang sama. Ini harus menjadi kritik bagi para demokrat di Indonesia, sudahkah benar-benar demokrasi berada pada jalurnya, atau sekarang demokrasi telah ditunggangi oleh musuh bebuyutannya, aristokrat yang koruptif?

Penyelamat Demokrasi

Pada proses penyusunan materi, saya menemukan ironi. Pada satu sisi, kopi mampu bertransformasi sedemikian rupa di tangan anak muda. Kopi mampu menyerap banyak tenaga kerja dan menjadi budaya (terutama anak muda) Indonesia.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com