Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Gurgur Manurung
Tenaga Ahli Komisi VI DPR RI

Alumni Pasca Sarjana IPB Bogor bidang Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan

Demokrasi dan Degradasi Lingkungan di Daerah

Kompas.com - 30/08/2022, 10:54 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

BULAN lalu saya pulang ke kampung kelahiran saya di Desa Nalela, Kecamatan Porsea, Kabupaten Toba, Provinsi Sumatra Utara. Ketika bangun pagi saya melihat, dari depan rumah kami, truk-truk besar bertonase 40-60 ton melintas di jalan yang statusnya merupakan jalan kabupaten.

Saya kaget melihat puluhan truk-truk raksasa itu. Saya kemudian mengetahui ternyata penduduk sepanjang jalan dari Siraituruk, Rautbosi, dan desa kami keberatan dengan kehadiran truk-truk itu.

Bagaimana cara menghentikan truk-truk yang merusak jalan dalam konteks demokrasi kita? Dalam teori demokrasi yang diajarkan di sekolah, demokrasi adalah rakyat yang berdaulat.

Kalau rakyat yang berdaulat mengapa truk-truk yang melebihi kapasitas jalan itu berjalan mulus hingga satu bulan lebih? Bagaimana sesungguhnya mekanisme demokrasi yang berjalan di desa sehingga rakyat hanya mengeluh tanpa tahu tindakan apa yang dilakukan untuk menghentikan truk-truk yang telah terbukti merusak jalan, bahkan mengganggu rumah warga di sepanjang jalan?

Baca juga: Ancaman Kerusakan Lingkungan hingga Hilangnya Mata Pencarian Warga Wadas karena Proyek Bendungan

Seorang perempuan boru Butarbutar mengaku bahwa sejak truk-truk yang puluhan jumlahnya itu melewati jalan di depan rumahnya, kamar mandi rumahnya telah retak. Jalan di depan rumahnya juga retak-retak dan berpotensi longsor ke sungai.

Sekretaris Desa (Sekdes) Nalela mengatakan, jalan yang dilalui truk-truk itu di bawahnya hanya pasir. Jalan itu beresiko longsor ke sawah dan sungai yang ada di sisi jalan.

Jika terjadi longsor, biaya perbaikan sangat tinggi. Rakyat akan menderita jika jalan itu rusak total akibat dilintasi truk itu.

Dalam wawancara saya, masyarakat dari Siraituruk, Rautbosi, dan Nalela resah karena truk-truk yang lewat. Tetapi mereka tidak tahu bagimana cara menghentikannya.

Dalam kondisi seperti itu, saya berbicara dengan Sekdes Desa Nalela dan menelepon Camat Porsea. Camat Porsea langsung menelepon Kepela Desa Nalela dan kami sepakat berjumpa di kantor Kepala Desa (Kades) Nalela.

Dalam pertemuan itu kami sepakat untuk menghentikan truk-truk itu di pagi hari guna menanyakan izin mereka. Pagi hari besoknya sekitar pukul 05.00 WIB saya ikut Kepala Desa (Kades) dan perangkatnya untuk menghentikan truk-truk raksasa itu.

Penanggung jawab truk mengatakan, isinya hanya 13 ton. Mereka sengaja menurunkan tonase truk karena melihat kondisi jalan. Siapa yang percaya bahwa isi truk raksasai itu 13 ton? Apakah 13 ton sesuai dengan daya dukung (DD) jalan yang kami miliki?

Penangjawab truk-truk itu tidak dapat menjawabnya.

Menurut informasi dari Camat Porsea, DD jalan kami maksimal lima  ton. Jadi, wajar hampir sepanjang jalan retak dan mengalami kerusakan yang memprihatinkan.

Dalam pertemuan pagi itu, kami pastikan bahwa truk itu menyalahi aturan. Karena itu, truk tidak boleh melawati jalan desa karena merusak jalan dan rumah warga. Pagi itu penanggung jawab truk meminta agar dapat lewat tetapi yang terakhir. Kami menyepakati truk itu lewat dengan perjanjian itu yang terkahir kali.

Ketika saya di Bandara Silangit beberapa hari kemudian, Camat Porsea menelepon bahwa ada permintaan agar truk itu bisa lewat lagi. Camat Porsea mengajak saya untuk pertemuan tetapi saya sudah harus berangkat ke Jakarta.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com