BEBERAPA waktu lalu, Wakil Gubernur Jawa Barat, Uu Ruzhanul Ulum, mengeluarkan pernyataan mengejutkan. UU mengusulkan poligami sebagai cara untuk mencegah meningkatnya penularan HIV/AIDS.
Menurut Uu, dorongan seksual yang tidak terkendalilah yang mengakibatkan prilaku seks bebas. Pandangan beliau disetujui sejumlah pihak. Namun banyak juga yang mengecamnya. Belakangan Uu memimintaa maaf atas usulannya itu.
Baca juga: Panen Kritikan Wagub Jabar soal Solusi Poligami Atasi HIV/AIDS
Pandangan yang cenderung menyalahkan dorongan seksual yang tidak terkendali, apalagi dengan banyaknya tayangan yang mengundang birahi dalam berbagai media sehingga semakin mendorong kuat rangsang birahi, sering saya dapatkan saat bertugas di puskesmas.
Setiap tahun puskesmas, saya memperoleh tugas untuk memberikan pembekalan pranikah. Sebagai kepala puskesmas, tugas itu menjadi kewajiban saya.
Dari kegiatan tersebut diperoleh informasi beragam, terutama tentang pernikahan dini. Di daerah, angka pernikahan dini masih banyak ditemukan.
Hal itu sangat memprihatinkan, apalagi dari sudut kesehatan reproduksi. Pernikahan dini merupakan faktor penyulit bagi kesehatan ibu hamil. Anatomi panggul yang belum sempurna jadi penyebab kesulitan melahirkan. Belum lagi bicara faktor psikologis yang cenderung belum siap.
Beragam alasan dikemukakan pelaku pernikahan dini. Yang terbanyak adalah masalah ekonomi dan moralitas. Banyak orangtua yang khawatir anaknya terjerumus pergaulan seks bebas. Akibatnya, hamil di luar nikah dan menjadi aib buat keluarga.
Alasan ini hampir sama dengan yang dikemukakan Wakil Gubernur Jawa Barat itu. Dorongan seksual yang tidak terkendali. Padahal menurut hemat saya, tidak ada jaminan setelah menikah praktik seks bebas hilang.
Baca juga: Benarkah Poligami Bisa Menekan Penyebaran Penyakit HIV/AIDS?
Begitupun dengan poligami, tidak ada jaminan pelaku poligami tidak akan melakukan seks di luar nikah. Dalam setiap pembekalan, saya berusaha agar para calon pengantin, memahami fungsi seks.
Biasanya saya menolak judul kesehatan reproduksi, seperti arahan kemenkes. Saya lebih suka memberikan judul pendidikan seks, tema yang sebelumnya pernah digunakan.
Meskipun istilah seks seringkali dikonotasikan negatif. Saya pikir justru itu lebih mewakili apa yang ingin disampaikan, lebih dibutuhkan oleh para calon pengantin.
Saya mulai dengan penjelasan kata pendidikan dan seks. Dua kata tersebut memiliki fungsi yang sama, fungsi survival, bertahan hidup.
Mereka akan mengarungi hidup baru yang tidak selalu manis. Mereka harus memahami bahwa pernikahan bisa memberikan ketahanan menghadapi kehidupan. Bukan malah membawa masalah baru, yang mempersulit kehidupan mereka.
Kehidupan memang akan lebih mudah dilalui jika diarungi bersama oleh belahan jiwa. Namun jika pasangan hidup itu tidak sejalan, malah berbagai masalah yang muncul.