Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Iqbal Nurul Azhar
Pelajar/Mahasiswa Dosen

Akademisi Pemerhati Bahasa dan Sosial Budaya

Rasialisme Kebahasaan di Indonesia Sebuah Fenomena Gunung Es yang Semakin Besar

Kompas.com - 06/08/2022, 14:40 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

ISU rasialisme kebahasaan makin marak dijumpai di Indonesia. Satu kasus yang sempat ramai diberitakan terkait twit pegiat media sosial Permadi Arya terhadap eks komisioner Komnas HAM, Natalius Pigai, yang berdarah Papua (tahun 2021). Pada tahun yang sama, Natalius juga diberitakan mendapatkan tindakan rasial dari Ambroncius Nababan, politisi Partai Hanura dan Yusuf Leonard Henuk, profesor Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara (USU).

Uniknya, di saat hampir bersamaan, Natalius juga dituding melakukan tindakan rasial terhadap suku Jawa dan Padang (Genik, 2021).

Pada akhirnya, konflik dalam ranah kebahasaan itu menjadi tidak jelas dan menguap begitu saja. Meski pada akhirnya kasus Pigai mereda dengan sendirinya, tanpa penyelesaian di ranah hukum, tetapi kasus itu menjadi bukti tentang fenomena gunung es tindakan rasialisme kebahasaan di Indonesia.

Baca juga: Kasus Dugaan Rasialisme terhadap Natalius Pigai, Ini yang Perlu Dilakukan Negara

Hilangnya kasus itu dengan cepat dari sorotan publik menjadi bukti pula bahwa rasialisme kebahasaan di Indonesia masih dianggap bukan suatu hal yang penting, sehingga siapapun pelakunya tidak perlu dibawa ke ranah hukum dan perbuatannya akan mudah dilupakan.

Isu rasialisme kebahasaan sebenarnya dapat menjadi salah satu faktor yang mencetuskan disintegrasi bangsa. Jika isu-isu kebahasaan dibiarkan bergulir secara liar tanpa ada kontrol yang jelas dari pemerintah, isu-isu tersebut dapat dimanfaatkan pihak yang memiliki kepentingan politik untuk mencapai tujuan politik tersebut.

Isu ini mudah sekali dipelintir menjadi isu yang lebih besar seperti superioritas bahasa atau segregasi masyarakat yang dapat menjadikan sebagian masyarakat merasa superior sedangkan sebagian lagi merasa terintimidasi dan terdiskriminasi. Akibatnya, kondusivitas masyarakat menjadi kurang terjaga yang berakibat lahirnya disintegrasi.

Pertanyaannya  adalah seberapa dalam rakyat Indonesia memiliki pemahaman tentang isu rasialisme kebahasaan? Pernahkah terbersit dalam pikiran rakyat Indonesia bahwa bangsa ini sedang berada dalam darurat rasialisme kebahasaan?

Dua pertanyaan itu menggangu saya ketika saya melihat bahwa kasus Pigai dan kasus-kasus rasilisme kebahasaan yang lain dianggap sebagai sebuah kasus yang tidak berharga sehingga tidak layak menjadi perhatian publik. Padahal, di negara lain, seperti di Amerika Serikat (AS), isu-isu rasialisme kebahasaan telah menjadi subjek ilmiah yang banyak dikaji dan diulas para pakar, khususnya mereka yang terkumpul dalam komunitas rasiolinguistik.

Fenomena di AS dan kajian rasiolinguistik

Isu rasialisme kebahasaan sudah ada di AS sebelum negara tersebut mendeklarasikan kemerdekaannya tahun 1776. Isu ini masih menjadi bayang-bayang isu besar saat itu, yaitu perbudakaan dan emansipasi wanita.

Isu rasialisme kebahasaan baru muncul sebagai isu terpisah pasca pidato inagurasi Presiden Barack Obama pada 2008 yang memiliki latar belakang kulit hitam. Pidato Obama ketika itu sukses menyedot perhatian khalayak dan banyak di antara orang-orang terkenal negeri ini turut pula memberikan ulasan terhadap gaya bahasanya termasuk juga ulasan yang bernada rasial.

Pada waktu itu, banyak orang tertarik memantau gaya bahasa yang digunakan Obama dan memberikan stempel bermacam-macam pada gaya pidatonya. Ada yang mengatakan gaya retorikanaya beraksen kulit hitam, ada pula yang mengatakan tanpa aksen.

Baca juga: Pidato Obama Menyentuh Hati Kaum Muda Kulit Hitam AS: Kalian dan Hidup Kalian Berarti

Fenomena itu menunjukkan bahwa bahwa rasialisme di AS masih nyata. Idealnya, setelah melewati sejarah panjang yang sebagian porsi di antaranya diwarnai dengan rasialisme, AS seharusnya layak disebut sebagai negara postrasial; sehingga dapat dikatakan bahwa rasialisme hanya ada di masa lalu, bukan di masa kini.

Sayangnya, melihat begitu banyaknya fakta, termasuk fakta seputar komentar rasial tentang pidato Obama, AS adalah negara yang tidak setoleran yang kita kira. Alim (2016) bahkan secara ironis mengatakan, alih-alih postrasial, masyarakat AS sebenarnya adalah masyarakat hiperrasial.

Tidak lama setelah Obama terpilih sebagai presiden, masyarakat linguistik antropologi di AS berkumpul di San Francisco untuk membahas perlukah kiranya domain bahasa disertakan dalam proyek-proyek yang berhubungan dengan ras dan rasialisme. Topik ini kemudian dibawa dalam diskusi paralel yang membahas tentang adanya kebutuhan untuk membangun sebuah teori tentang bahasa dan hubungannya dengan ras atau yang dikenal sebagai sebagai rasiolinguitik.

Rasiolinguitik sangat tertarik untuk membahas, meneliti, dan menemukan solusi dari munculnya wacana-wacana, pengetahuan-pengetahuan, serta praktik-praktik sosial kebahasaan yang berbau rasial. Rasialisme kebahasaan seringkali dijumpai dalam bentuk perlakuan-perlakuan yang tidak baik seperti marjinalisasi, pengucilan atau pendeskriditan orang atau kelompok orang dengan cara membangun dan melanggengkan hubungan kekuasaan yang tidak setara yang ditentukan oleh perbedaan ras.

Cakupan rasialisme kebahasaan sangat luas. Menurut Kubota dan Lin (2009), rasialisme kebahasaan dapat terjadi dalam tataran individu, kelembagaan, maupun epistemologi.

Rasiolinguitik mendapatkan momentum yang tepat untuk besar ketika gerakan Black Lives Matter (BLM) atau "Nyawa Orang Kulit Hitam Berharga" semakin lama semakin membahana di dunia (Lihat Croom, 2020). BLM awalnya adalah gerakan yang digagas para aktivis pembela komunitas Afrika-Amerika yang aktif mengadvokasi dan menentang kekerasan maupun rasialisme sistemik terhadap orang-orang kulit hitam.

Gerakan ini bermula tahun 2013 dalam bentuk penggunaan tagar #BlackLivesMatter di media sosial setelah George Zimmerman dinyatakan tidak bersalah oleh pengadilan AS. Padahal Zimmerman adalah pelaku penembakan Travyon Martin pada Februari 2012, seorang pemuda berkulit hitam.

Baca juga: Demo Black Lives Matter Merebak Lagi, Massa Serbu Gedung Putih

Gerakan BLM lalu berkembang menjadi sebuah jaringan nasional dengan lebih dari 30 cabang antara tahun 2014 hingga 2016.

Pada pertengahan tahun 2020, BLM benar-benar menunjukkan eksistensinya setelah berhasil menggerakkan massa untuk turun ke jalan di masa pandemi Covid-19, pasca kematian George Floyd pada 25 Mei 2020. George Floyd seorang Afro-Amerika yang tewas saat ia ditahan pihak kepolisian Minneapolis, Minnesota, dengan tuduhan membeli rokok di toko kelontong menggunakan uang palsu.

Ketika BLM bergulir, pada saat itulah pegiat komunitas rasiolinguitik merasa benar-benar menemukan peranan mereka dalam masyarakat. Selama ini, linguistik dimasukkan sebagai cabang ilmu sekunder karena dianggap terlalu teoritis dan manfaatnya pada masyarakat kurang begitu terasa.

Ketika BLM bergulir, para rasiolinguis mampu menunjukkan posisi mereka sebagai orang-orang yang memberikan kontribusi perubahan pada masyarakat. Saya, yang kebetulan sedang kuliah di Arizona, AS, menjadi saksi hidup dari betapa sibuknya professor-profesor yang saya kenal, para rasiolinguis di Amerika yang seringkali diminta menjadi narasumber, konsultan, analis, serta anggota komite dari banyak organisasi yang berhubungan dengan antirasialisme.

Bagaimana di Indonesia

Rasiolinguistik yang berkembang di AS ternyata tidak memberikan pengaruh yang signifikan pada sudut pandang masyarakat Indonesia terkait rasialisme kebahasaan. Padahal, tidak dapat dipungkiri, tiga jenis rasialisme kebahasaan seperti yang disampaikan Kubota dan Lin, yaitu rasisme kebahasaan oleh individu, kelembagaan, serta epistemologis, banyak sekali dijumpai keberadaannya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com